Pengamat nilai penerapan PPKM di Aceh belum maksimal
28 Agustus 2021 19:19 WIB
Arsip - Personel Polresta Banda Aceh bersama petugas Perhubungan Pelabuhan Ulee Lheu memeriksa sertifikat vaksin COVID-19 penumpang tujuan pulau Weh, Sabang di Banda Aceh, Aceh, Kamis (12/8/2021). (ANTARA FOTO / Irwansyah Putra/foc.)
Banda Aceh (ANTARA) - Pengamat Kebijakan Publik Aceh Dr Nasrul Zaman ST M Kes menilai penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dalam upaya menekan penyebaran COVID-19 di Aceh belum berjalan maksimal sehingga pemerintah diminta untuk lebih tegas.
“Kita melihat beberapa kali PPKM dilakukan dan perpanjangan berlangsung, malah jumlah kasus positif COVID-19 di Aceh terus meningkat,” kata Nasrul Zaman di Banda Aceh, Sabtu.
Menurut Nasrul selama ini penerapan PPKM di wilayah Aceh masih berupa simbolik, bukan pada substansinya. Seperti, kata dia, sekolah dan kampus tidak melalukan aktivitas belajar mengajar secara tatap muka.
“Tapi warung kopi dan pusat keramaian lain tetap beraktivitas dan berlangsung seolah-olah tidak ada kebijakan PPKM,” kata Nasrul.
Bahkan, Banda Aceh sebagai ibu kota yang menjadi pusat keramaian dalam aktivitas ekonomi, jasa, serta mobilitas orang tetap berjalan seperti biasanya, tanpa pembatasan. Padahal Banda Aceh merupakan daerah dengan penerapan PPKM level 4.
Baca juga: IDI minta PPKM level 4 di Banda Aceh ditegakkan secara ketat
Baca juga: Banda Aceh masuk PPKM level 4, warga diminta patuhi prokes
“Harusnya pemerintah lebih tegas. Lakukan pembatasan ruang gerak warga tanpa kecuali, jangan tebang pilih, termasuk para pegawai kantor gubernur dan instansi lainnya, harus WFH (work from home),” katanya.
Di sisi lain, menurut Nasrul, cakupan vaksinasi lengkap COVID-19 bagi warga juga masih rendah, terutama pada daerah yang berbatasan dengan ibukota Banda Aceh atau kabupaten/kota lain, yang warganya kerap beraktivitas di Banda Aceh.
“Rendahnya angka vaksinasi tentu memberi potensi risiko terpapar COVID-19 lebih tinggi bagi warga Aceh,” katanya.
Selain itu, pemeriksaan sampel usap (swab) PCR yang terpusat di Banda Aceh juga turut menyumbang tingginya peningkatan kasus COVID-19 di Aceh dalam sebulan terakhir.
“Yang dibutuhkan sebenarnya mendekatkan pemeriksaan laboratorium PCR di daerah-daerah pantai timur Aceh, barat selatan Aceh dan tengah tenggara Aceh sehingga pemeriksaan dapat secepatnya dilakukan tanpa terpusat di Banda Aceh,” katanya.
“Untuk tracing sejauh ini sudah maksimal, makanya banyak ditemukan yang positif COVID-19 tapi testing yang kita lihat masih belum maksimal, sehingga sulit menentukan positif rate Aceh,” katanya lagi.
Hingga Sabtu (28/8), menurut data Satgas COVID-19 Pemerintah Aceh, secara akumulatif kasus infeksi corona di Aceh telah mencapai 32.084 orang, di antaranya 6.684 orang masih dirawat atau isolasi mandiri, 23.992 orang telah sembuh dan 1.408 orang meninggal dunia akibat virus corona.
Baca juga: PPKM Banda Aceh diperpanjang, tempat usaha diizinkan hingga 22.00 WIB
Baca juga: Banda Aceh zona oranye COVID-19, warga diminta tetap disiplin prokes
“Kita melihat beberapa kali PPKM dilakukan dan perpanjangan berlangsung, malah jumlah kasus positif COVID-19 di Aceh terus meningkat,” kata Nasrul Zaman di Banda Aceh, Sabtu.
Menurut Nasrul selama ini penerapan PPKM di wilayah Aceh masih berupa simbolik, bukan pada substansinya. Seperti, kata dia, sekolah dan kampus tidak melalukan aktivitas belajar mengajar secara tatap muka.
“Tapi warung kopi dan pusat keramaian lain tetap beraktivitas dan berlangsung seolah-olah tidak ada kebijakan PPKM,” kata Nasrul.
Bahkan, Banda Aceh sebagai ibu kota yang menjadi pusat keramaian dalam aktivitas ekonomi, jasa, serta mobilitas orang tetap berjalan seperti biasanya, tanpa pembatasan. Padahal Banda Aceh merupakan daerah dengan penerapan PPKM level 4.
Baca juga: IDI minta PPKM level 4 di Banda Aceh ditegakkan secara ketat
Baca juga: Banda Aceh masuk PPKM level 4, warga diminta patuhi prokes
“Harusnya pemerintah lebih tegas. Lakukan pembatasan ruang gerak warga tanpa kecuali, jangan tebang pilih, termasuk para pegawai kantor gubernur dan instansi lainnya, harus WFH (work from home),” katanya.
Di sisi lain, menurut Nasrul, cakupan vaksinasi lengkap COVID-19 bagi warga juga masih rendah, terutama pada daerah yang berbatasan dengan ibukota Banda Aceh atau kabupaten/kota lain, yang warganya kerap beraktivitas di Banda Aceh.
“Rendahnya angka vaksinasi tentu memberi potensi risiko terpapar COVID-19 lebih tinggi bagi warga Aceh,” katanya.
Selain itu, pemeriksaan sampel usap (swab) PCR yang terpusat di Banda Aceh juga turut menyumbang tingginya peningkatan kasus COVID-19 di Aceh dalam sebulan terakhir.
“Yang dibutuhkan sebenarnya mendekatkan pemeriksaan laboratorium PCR di daerah-daerah pantai timur Aceh, barat selatan Aceh dan tengah tenggara Aceh sehingga pemeriksaan dapat secepatnya dilakukan tanpa terpusat di Banda Aceh,” katanya.
“Untuk tracing sejauh ini sudah maksimal, makanya banyak ditemukan yang positif COVID-19 tapi testing yang kita lihat masih belum maksimal, sehingga sulit menentukan positif rate Aceh,” katanya lagi.
Hingga Sabtu (28/8), menurut data Satgas COVID-19 Pemerintah Aceh, secara akumulatif kasus infeksi corona di Aceh telah mencapai 32.084 orang, di antaranya 6.684 orang masih dirawat atau isolasi mandiri, 23.992 orang telah sembuh dan 1.408 orang meninggal dunia akibat virus corona.
Baca juga: PPKM Banda Aceh diperpanjang, tempat usaha diizinkan hingga 22.00 WIB
Baca juga: Banda Aceh zona oranye COVID-19, warga diminta tetap disiplin prokes
Pewarta: Khalis Surry
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021
Tags: