LIPI:Pelajari ingatan kolektif untuk kurangi risiko bencana
27 Agustus 2021 17:51 WIB
Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Herry Jogaswara (kiri bawah) berbicara dalam webinar dengan tema Mengenang Letusan Krakatau 1883: Pengetahuan Lokal dan Upaya Pengurangan Resiko Bencana di Selat Sunda di Jakarta, Jumat (27/8/2021). (FOTO ANTARA/Martha Herlinawati Simanjuntak)
Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Herry Jogaswara mengatakan masyarakat perlu belajar dari warisan ingatan kolektif terkait bencana untuk menjadi pembelajaran dalam upaya pengurangan risiko bencana di masa mendatang.
"Kami merasa bahwa ingatan kolektif itu tidak boleh hanya berhenti dicatat tapi kemudian ingatan itu harus ditransformasi menjadi tindakan keseharian dalam pengurangan risiko bencana," katabya dalam webinar dengan tema Mengenang Letusan Krakatau 1883: Pengetahuan Lokal dan Upaya Pengurangan Risiko Bencana di Selat Sunda di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan kondisi geografis menjadikan Indonesia berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor.
Salah satu peristiwa besar dalam catatan sejarah adalah letusan Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883 atau 138 tahun silam yang telah memicu tsunami besar dan memakan banyak korban jiwa.
Peristiwa besar itu, katanya, telah meninggalkan ingatan-ingatan kolektif kepada masyarakat, misalnya cerita rakyat tentang seseorang yang sangat kesepian karena harus hidup sendiri pasca kejadian letusan itu, dan ombak dari tsunami yang menghantam warga. Cerita rakyat itu melukiskan tingkah laku orang menghadapi bencana dan dampak yang dirasakan.
Peristiwa tsunami di Selat Sunda pada 22 Desember 2018, kata dia, juga merupakan bencana yang telah memberikan kenangan yang sama.
Menurut dia ingatan atau memori kolektif dari kejadian bencana itu perlu diingat sebagai bagian dari pembelajaran masyarakat untuk pengurangan risiko bencana ke depan.
Oleh karena itu, edukasi masyarakat pada pengayaan pengetahuan lokal khususnya terkait Gunung Krakatau menjadi perhatian penting untuk memperkaya khasanah pengetahuan bagi masyarakat lokal sebagai upaya pengurangan risiko bencana.
Selain itu, kata dia, pengelolaan bencana juga harus berbasis struktural dan non struktural. Basis struktural antara lain mencakup teknologi peringatan dini dan alat pendeteksi bencana.
Sedangkan, basis non struktural merupakan suatu pendidikan kebencanaan yang memberikan pertolongan pertama kali saat bencana terjadi.
Ia menambahkan masyarakat Indonesia yang berada di wilayah rawan bencana harus diedukasi dan diberikan materi yang berkaitan dengan kebencanaan.
"Pendidikan bencana ini juga sifatnya kontekstual dan harus selalu diperbarui," demikian Herry Jogaswara.
Baca juga: Antara doeloe : Krakatau meletus
Baca juga: Setelah longsor, bagian Gunung Anak Krakatau muncul
Baca juga: PVMBG: Gunung Anak Krakatau alami 13 kali kegempaan letusan
"Kami merasa bahwa ingatan kolektif itu tidak boleh hanya berhenti dicatat tapi kemudian ingatan itu harus ditransformasi menjadi tindakan keseharian dalam pengurangan risiko bencana," katabya dalam webinar dengan tema Mengenang Letusan Krakatau 1883: Pengetahuan Lokal dan Upaya Pengurangan Risiko Bencana di Selat Sunda di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan kondisi geografis menjadikan Indonesia berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor.
Salah satu peristiwa besar dalam catatan sejarah adalah letusan Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883 atau 138 tahun silam yang telah memicu tsunami besar dan memakan banyak korban jiwa.
Peristiwa besar itu, katanya, telah meninggalkan ingatan-ingatan kolektif kepada masyarakat, misalnya cerita rakyat tentang seseorang yang sangat kesepian karena harus hidup sendiri pasca kejadian letusan itu, dan ombak dari tsunami yang menghantam warga. Cerita rakyat itu melukiskan tingkah laku orang menghadapi bencana dan dampak yang dirasakan.
Peristiwa tsunami di Selat Sunda pada 22 Desember 2018, kata dia, juga merupakan bencana yang telah memberikan kenangan yang sama.
Menurut dia ingatan atau memori kolektif dari kejadian bencana itu perlu diingat sebagai bagian dari pembelajaran masyarakat untuk pengurangan risiko bencana ke depan.
Oleh karena itu, edukasi masyarakat pada pengayaan pengetahuan lokal khususnya terkait Gunung Krakatau menjadi perhatian penting untuk memperkaya khasanah pengetahuan bagi masyarakat lokal sebagai upaya pengurangan risiko bencana.
Selain itu, kata dia, pengelolaan bencana juga harus berbasis struktural dan non struktural. Basis struktural antara lain mencakup teknologi peringatan dini dan alat pendeteksi bencana.
Sedangkan, basis non struktural merupakan suatu pendidikan kebencanaan yang memberikan pertolongan pertama kali saat bencana terjadi.
Ia menambahkan masyarakat Indonesia yang berada di wilayah rawan bencana harus diedukasi dan diberikan materi yang berkaitan dengan kebencanaan.
"Pendidikan bencana ini juga sifatnya kontekstual dan harus selalu diperbarui," demikian Herry Jogaswara.
Baca juga: Antara doeloe : Krakatau meletus
Baca juga: Setelah longsor, bagian Gunung Anak Krakatau muncul
Baca juga: PVMBG: Gunung Anak Krakatau alami 13 kali kegempaan letusan
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021
Tags: