Normalisasi defisit, CORE: Belanja dan penerimaan harus seimbang
27 Agustus 2021 16:34 WIB
Sejumlah alat berat beroperasi dengan latar belakang gedung bertingkat di Jakarta, Kamis (26/8/2021). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/wsj.
Jakarta (ANTARA) - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengingatkan pemerintah agar belanja dan pendapatan negara berjalan seimbang dalam rangka menekan defisit anggaran tahun depan dan menuju normalisasi level defisit pada 2023.
"Untuk mendorong agar defisit anggaran bisa menyasar target, maka pendekatan dari sisi belanja dan penerimaan harus berjalan seimbang," katanya kepada ANTARA di Jakarta, Jumat.
Defisit Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 ditetapkan sebesar 4,85 persen atau Rp868 triliun, sedangkan defisit pada 2023 akan kembali ke level 3 persen.
Yusuf mengatakan dari sisi belanja pemerintah, perlu memastikan bahwa pos-pos belanja nantinya bisa terealisasikan secara penuh dan tepat sasaran.
Menurutnya, seharusnya pada tahun depan masalah administrasi yang sering menjadi penghambat realisasi belanja sudah bisa diantisipasi karena telah mempunyai pengalaman pada 2020 dan 2021.
Oleh sebab itu, pemerintah masih harus terus memperbarui data agar administrasi belanja dapat lebih baik karena akan berimplikasi pada penyaluran berbagai bantuan yang dibutuhkan masyarakat.
Dalam hal ini, data merupakan aspek esensial dalam memastikan belanja dapat tersalurkan dengan benar tidak hanya pada tahun depan melainkan juga tahun-tahun berikutnya.
"Update reguler dari pemda untuk data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) penting agar data bansos bisa tersalurkan lebih tepat sasaran," tegasnya.
Ia mengingatkan tahun depan merupakan tahun transisi sebelum defisit anggaran kembali ke level 3 persen pada 2023, sehingga harus ada basis dasar kebijakan yang kuat untuk mendorong proses pemulihan ekonomi.
"Artinya, jika misalnya belanja diperlukan melebar dan akhirnya mendorong melebarnya defisit anggaran maka harus dilihat bahwa kebijakan itu diperlukan untuk memperkokoh proses transisi pemulihan ekonomi 2023," jelasnya.
Yusuf menambahkan APBN harus tetap fleksibel karena dalam periode pemulihan ekonomi ini hanya APBN yang mampu menjadi ujung tombak dalam proses pemulihan ekonomi.
"Belanja pemerintah melalui APBN. Hal ini juga sudah dilakukan di tahun lalu dan tahun ini di mana ketika dibutuhkan, maka APBN merespons kebutuhan dengan menambah kebijakan dan anggaran yang dibutuhkan," katanya.
Sementara dari sisi penerimaan, upaya untuk memastikan keberlanjutan Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) menjadi salah satu kunci dalam mendorong penerimaan pajak yang lebih baik pada tahun depan.
Baca juga: Kepala BKF Kemenkeu: Reformasi belanja negara akan diperkuat
Baca juga: Wamenkeu sebut APBN tidak bisa selamanya menjadi bantalan ekonomi
Baca juga: Sri Mulyani sebut defisit APBN hingga Juli capai 2,04 persen
"Untuk mendorong agar defisit anggaran bisa menyasar target, maka pendekatan dari sisi belanja dan penerimaan harus berjalan seimbang," katanya kepada ANTARA di Jakarta, Jumat.
Defisit Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 ditetapkan sebesar 4,85 persen atau Rp868 triliun, sedangkan defisit pada 2023 akan kembali ke level 3 persen.
Yusuf mengatakan dari sisi belanja pemerintah, perlu memastikan bahwa pos-pos belanja nantinya bisa terealisasikan secara penuh dan tepat sasaran.
Menurutnya, seharusnya pada tahun depan masalah administrasi yang sering menjadi penghambat realisasi belanja sudah bisa diantisipasi karena telah mempunyai pengalaman pada 2020 dan 2021.
Oleh sebab itu, pemerintah masih harus terus memperbarui data agar administrasi belanja dapat lebih baik karena akan berimplikasi pada penyaluran berbagai bantuan yang dibutuhkan masyarakat.
Dalam hal ini, data merupakan aspek esensial dalam memastikan belanja dapat tersalurkan dengan benar tidak hanya pada tahun depan melainkan juga tahun-tahun berikutnya.
"Update reguler dari pemda untuk data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) penting agar data bansos bisa tersalurkan lebih tepat sasaran," tegasnya.
Ia mengingatkan tahun depan merupakan tahun transisi sebelum defisit anggaran kembali ke level 3 persen pada 2023, sehingga harus ada basis dasar kebijakan yang kuat untuk mendorong proses pemulihan ekonomi.
"Artinya, jika misalnya belanja diperlukan melebar dan akhirnya mendorong melebarnya defisit anggaran maka harus dilihat bahwa kebijakan itu diperlukan untuk memperkokoh proses transisi pemulihan ekonomi 2023," jelasnya.
Yusuf menambahkan APBN harus tetap fleksibel karena dalam periode pemulihan ekonomi ini hanya APBN yang mampu menjadi ujung tombak dalam proses pemulihan ekonomi.
"Belanja pemerintah melalui APBN. Hal ini juga sudah dilakukan di tahun lalu dan tahun ini di mana ketika dibutuhkan, maka APBN merespons kebutuhan dengan menambah kebijakan dan anggaran yang dibutuhkan," katanya.
Sementara dari sisi penerimaan, upaya untuk memastikan keberlanjutan Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) menjadi salah satu kunci dalam mendorong penerimaan pajak yang lebih baik pada tahun depan.
Baca juga: Kepala BKF Kemenkeu: Reformasi belanja negara akan diperkuat
Baca juga: Wamenkeu sebut APBN tidak bisa selamanya menjadi bantalan ekonomi
Baca juga: Sri Mulyani sebut defisit APBN hingga Juli capai 2,04 persen
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: