Ini saran Dubes Belanda untuk atasi stunting di Indonesia
26 Agustus 2021 20:17 WIB
Tangkapan layar Duta Besar Belanda untuk Republik Indonesia Lambert Grijns acara virtual “Ambassador Talks with the Embassy of the Kingdom of the Netherlands” yang terpantau daring di Jakarta, Kamis (26/8/2021). ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti.
Jakarta (ANTARA) - Duta Besar Belanda untuk Republik Indonesia Lambert Grijns memberikan sejumlah saran kepada Pemerintah RI dalam mengatasi permasalahan pernikahan dini dan anak lahir kerdil (stunting).
“Kita melihat bahwa kesehatan ibu dan anak sangat penting. Ibu-ibu muda ini harus dipastikan mereka siap. Jadi di Indonesia mungkin ada tantangan yaitu banyak ibu yang usianya terlalu muda,” kata Lambert dalam acara virtual “Ambassador Talks with the Embassy of the Kingdom of the Netherlands” yang terpantau daring di Jakarta, Kamis.
Lambert mengatakan ibu yang memiliki usia terlalu muda merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan naiknya angka stunting.
Baca juga: BKKBN gandeng Kedutaan Belanda atasi stunting
Untuk menghadapi masalah ini, kata dia, pemerintah perlu memberikan informasi-informasi seputar kehamilan, hubungan seksual, pentingnya jarak kehamilan dan keluarga berencana (KB) mulai dari tingkat bawah yakni melalui puskesmas dan bidan.
Ia mengatakan pemerintah juga perlu memasukkan informasi-informasi terkait kesehatan reproduksi melalui media yang ada atau dimasukkan ke materi pembelajaran dalam dunia pendidikan.
“Dalam negara kami, kami memasukkan itu ke dalam sistem pendidikan kami. Kami masukkan elemen mengenai kesehatan seksual, kesehatan reproduksi, dan ini adalah bagian kurikulum pendidikan kami,” kata dia menjelaskan akses informasi menjadi hal paling penting untuk atasi stunting.
Baca juga: BKKBN: Tiga provinsi memiliki angka prevalensi stunting tinggi
Selanjutnya, ia menyarankan pemerintah untuk aktif melakukan kegiatan dengan sejumlah organisasi non-pemerintah (NGO) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk menggalakkan edukasi seputar bahaya menikah muda dan akibat anak lahir stunting.
“Kami sarankan bisa bekerja sama dengan organisasi masukan sipil. Karena mereka bisa melakukan hal-hal yang mungkin tidak bisa dilakukan dengan leluasa oleh pemerintah,” ujar dia.
Ia mengatakan pemerintah perlu memastikan akses terhadap informasi-informasi yang berkualitas karena dapat melindungi anak, para ibu muda serta masyarakat agar dapat menjaga kesehatan reproduksi diri.
Baca juga: BKKBN: Kolaborasi kunci tangani gizi buruk hingga stunting
Ketua Kelompok Perlindungan Anak Desa Kediri Lombok Barat Suci Apriani mengatakan saat ini masyarakat masih berpikiran bahwa stunting disebabkan oleh gen orang tua.
“Padahal stunting sendiri itu kondisi di mana gizi dan asupan yang cukup kronis dengan rentan waktu yang lama, kondisi anak sering sekali dikaitkan dengan orang tua bahwa stunting adalah genetika yang diturunkan orang tua,” kata Suci.
Suci mengatakan, pemerintah perlu mengubah pemahaman tersebut dengan mengajak generasi muda untuk bersama-sama melakukan sosialisasi mengenai stunting dan bahaya menikah usia dini.
Baca juga: Akses air bersih dan sanitasi jadi prioritas dalam penanganan stunting
“Dalam hal ini, kaum muda memiliki pengetahuan dan peran strategis dalam penuntasan semisal ingin menempatkan kaum muda sebagai agent of change, yang kemudian bisa menjadi spirit buat kaum muda yang lain,” ucap dia.
Ia menjelaskan, generasi muda memiliki peran strategis yang bisa menggandeng para pemangku kebijakan guna memberikan aksesbilitas dan pemenuhan hak anak terkait dengan stunting. Seperti melalui media virtual zoom.
“Dua persoalan itu menjadi panggung hangat kita dan juga kaum muda. Untuk mentransfer knowledge tentang perkawinan anak dan dampaknya adalah stunting. Jika dua soal ini usai, maka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kita bisa lebih baik,” kata Suci.
Baca juga: Menkes: Permasalahan gizi balita di Indonesia masih cukup tinggi
“Kita melihat bahwa kesehatan ibu dan anak sangat penting. Ibu-ibu muda ini harus dipastikan mereka siap. Jadi di Indonesia mungkin ada tantangan yaitu banyak ibu yang usianya terlalu muda,” kata Lambert dalam acara virtual “Ambassador Talks with the Embassy of the Kingdom of the Netherlands” yang terpantau daring di Jakarta, Kamis.
Lambert mengatakan ibu yang memiliki usia terlalu muda merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan naiknya angka stunting.
Baca juga: BKKBN gandeng Kedutaan Belanda atasi stunting
Untuk menghadapi masalah ini, kata dia, pemerintah perlu memberikan informasi-informasi seputar kehamilan, hubungan seksual, pentingnya jarak kehamilan dan keluarga berencana (KB) mulai dari tingkat bawah yakni melalui puskesmas dan bidan.
Ia mengatakan pemerintah juga perlu memasukkan informasi-informasi terkait kesehatan reproduksi melalui media yang ada atau dimasukkan ke materi pembelajaran dalam dunia pendidikan.
“Dalam negara kami, kami memasukkan itu ke dalam sistem pendidikan kami. Kami masukkan elemen mengenai kesehatan seksual, kesehatan reproduksi, dan ini adalah bagian kurikulum pendidikan kami,” kata dia menjelaskan akses informasi menjadi hal paling penting untuk atasi stunting.
Baca juga: BKKBN: Tiga provinsi memiliki angka prevalensi stunting tinggi
Selanjutnya, ia menyarankan pemerintah untuk aktif melakukan kegiatan dengan sejumlah organisasi non-pemerintah (NGO) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk menggalakkan edukasi seputar bahaya menikah muda dan akibat anak lahir stunting.
“Kami sarankan bisa bekerja sama dengan organisasi masukan sipil. Karena mereka bisa melakukan hal-hal yang mungkin tidak bisa dilakukan dengan leluasa oleh pemerintah,” ujar dia.
Ia mengatakan pemerintah perlu memastikan akses terhadap informasi-informasi yang berkualitas karena dapat melindungi anak, para ibu muda serta masyarakat agar dapat menjaga kesehatan reproduksi diri.
Baca juga: BKKBN: Kolaborasi kunci tangani gizi buruk hingga stunting
Ketua Kelompok Perlindungan Anak Desa Kediri Lombok Barat Suci Apriani mengatakan saat ini masyarakat masih berpikiran bahwa stunting disebabkan oleh gen orang tua.
“Padahal stunting sendiri itu kondisi di mana gizi dan asupan yang cukup kronis dengan rentan waktu yang lama, kondisi anak sering sekali dikaitkan dengan orang tua bahwa stunting adalah genetika yang diturunkan orang tua,” kata Suci.
Suci mengatakan, pemerintah perlu mengubah pemahaman tersebut dengan mengajak generasi muda untuk bersama-sama melakukan sosialisasi mengenai stunting dan bahaya menikah usia dini.
Baca juga: Akses air bersih dan sanitasi jadi prioritas dalam penanganan stunting
“Dalam hal ini, kaum muda memiliki pengetahuan dan peran strategis dalam penuntasan semisal ingin menempatkan kaum muda sebagai agent of change, yang kemudian bisa menjadi spirit buat kaum muda yang lain,” ucap dia.
Ia menjelaskan, generasi muda memiliki peran strategis yang bisa menggandeng para pemangku kebijakan guna memberikan aksesbilitas dan pemenuhan hak anak terkait dengan stunting. Seperti melalui media virtual zoom.
“Dua persoalan itu menjadi panggung hangat kita dan juga kaum muda. Untuk mentransfer knowledge tentang perkawinan anak dan dampaknya adalah stunting. Jika dua soal ini usai, maka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kita bisa lebih baik,” kata Suci.
Baca juga: Menkes: Permasalahan gizi balita di Indonesia masih cukup tinggi
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2021
Tags: