Wamenkeu sebut APBN tidak bisa selamanya menjadi bantalan ekonomi
26 Agustus 2021 14:28 WIB
Tangkapan layar Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dalam “Sarasehan Virtual 100 Ekonom” yang dipantau di Jakarta, Kamis (26/8/2021). ANTARA/Sanya Dinda.
Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak bisa terus menjadi bantalan perekonomian nasional.
Setelah pandemi COVID-19 berhasil tertangani, konsumsi masyarakat, investasi, dan net ekspor juga diharapkan dapat kembali tumbuh tinggi. Selanjutnya belanja negara yang selama pandemi digunakan sebagai bantalan ekonomi akan dikonsolidasi untuk menurunkan defisit anggaran secara bertahap.
“Secara sederhana, kita menurunkan defisit, tahun lalu defisit kita 6,1 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto), tahun ini 5,7 persen, dan tahun depan sedang kita bicarakan dengan DPR, kita harap bisa 4,8 persen,” kata Suahasil dalam “Sarasehan Virtual 100 Ekonom” yang dipantau di Jakarta, Kamis.
Pada tahun 2023 mendatang, defisit APBN pun diharapkan kembali ke bawah 3 persen dari PDB. Untuk ini, pemerintah sedang mencari cara meningkatkan pendapatan perpajakan tanpa memberatkan masyarakat.
Pasalnya selama ini pajak digunakan tidak hanya sebagai sumber pendapatan negara, tapi juga pembantu perekonomian masyarakat, melalui penyaluran berbagai insentif pajak.
“Sekarang, logika kita pajak adalah instrumen menangani perekonomian. DJP (Direktorat Jenderal Pajak) tidak lagi alergi bertanya sektor usaha apa yang masih membutuhkan insentif pajak,” katanya.
Selain itu, untuk mencapai target defisit di bawah 3 persen pada 2023, pemerintah juga akan menyalurkan belanja negara dengan lebih efisien tanpa mengurangi sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Menata ini dalam pengelolaan fiskal jangka menengah menjadi sangat penting,” ucapnya.
Baca juga: Wamenkeu: Kebijakan fiskal dijalankan adaptif dengan COVID-19
Baca juga: Sri Mulyani sebut defisit APBN hingga Juli capai 2,04 persen
Baca juga: Sri Mulyani lanjutkan reformasi pajak, genjot penerimaan pajak 2022
Setelah pandemi COVID-19 berhasil tertangani, konsumsi masyarakat, investasi, dan net ekspor juga diharapkan dapat kembali tumbuh tinggi. Selanjutnya belanja negara yang selama pandemi digunakan sebagai bantalan ekonomi akan dikonsolidasi untuk menurunkan defisit anggaran secara bertahap.
“Secara sederhana, kita menurunkan defisit, tahun lalu defisit kita 6,1 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto), tahun ini 5,7 persen, dan tahun depan sedang kita bicarakan dengan DPR, kita harap bisa 4,8 persen,” kata Suahasil dalam “Sarasehan Virtual 100 Ekonom” yang dipantau di Jakarta, Kamis.
Pada tahun 2023 mendatang, defisit APBN pun diharapkan kembali ke bawah 3 persen dari PDB. Untuk ini, pemerintah sedang mencari cara meningkatkan pendapatan perpajakan tanpa memberatkan masyarakat.
Pasalnya selama ini pajak digunakan tidak hanya sebagai sumber pendapatan negara, tapi juga pembantu perekonomian masyarakat, melalui penyaluran berbagai insentif pajak.
“Sekarang, logika kita pajak adalah instrumen menangani perekonomian. DJP (Direktorat Jenderal Pajak) tidak lagi alergi bertanya sektor usaha apa yang masih membutuhkan insentif pajak,” katanya.
Selain itu, untuk mencapai target defisit di bawah 3 persen pada 2023, pemerintah juga akan menyalurkan belanja negara dengan lebih efisien tanpa mengurangi sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Menata ini dalam pengelolaan fiskal jangka menengah menjadi sangat penting,” ucapnya.
Baca juga: Wamenkeu: Kebijakan fiskal dijalankan adaptif dengan COVID-19
Baca juga: Sri Mulyani sebut defisit APBN hingga Juli capai 2,04 persen
Baca juga: Sri Mulyani lanjutkan reformasi pajak, genjot penerimaan pajak 2022
Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: