Tbilisi (ANTARA News/Reuters) - Lebih dari 5.000 orang Georgia melakukan protes di ibukota negara itu, Tbilisi, Kamis, untuk menghidupkan lagi gerakan oposisi lemah menentang Presiden Mikheil Saakashvili.
Para penentang menuduh pemimpin pro-Barat itu memonopoli kekuasaan sejak "Revolusi Mawar" 2003 yang menggulingkan penguasa lama pasca-Uni Sovyet di negara Kaukasus tersebut, dimana pipa saluran mengangkut minyak Kaspia ke negara Barat.
Saakashvili, yang diperlemah oleh perang Georgia dengan Rusia pada 2008, tetap berkuasa, setelah oposisi yang tidak efektif tidak bisa mendepaknya dalam protes beberapa bulan pada 2009.
Massa yang berkumpul di depan gedung parlemen memblokade jalan raya pusat Rustaveli, Tbilisi, namun jumlah peserta demo itu dianggap sedang dan analis tidak melihat ancaman besar pada kekuasaan Saakashvili sebelum masa jabatannya berakhir pada 2013.
"Pertemuan ini awal dari kehancuran rejim Saakashvili," kata politikus oposisi dan mantan sekutu Saakashvili, Nino Burjanadze.
Gerakan Nasional Bersatu kubu Saakashvili menang mudah dalam pemilihan umum lokal di Georgia pada Mei, dalam uji pemilu pertama terhadap pemerintah sejak perang 2008 terkait dengan wilayah separatis Ossetia Selatan.
Selasa, Saakashvili menyerukan dialog dengan Rusia namun sejauh ini belum memperoleh jawaban dari Moskow.
Kremlin mengakui kemedekaan wilayah-wilayah separatis Georgia yang didukung Moskow, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 26 Agustus tahun 2008, beberapa pekan setelah pasukan Rusia mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan.
Hubungan Rusia dengan Barat memburuk setelah perang singkat negara itu dengan Georgia.
Georgia menyatakan, perang itu dan pengakuan Moskow terhadap wilayah-wilayah tersebut sebagai negara merdeka merupakan pencaplokan atas wilayah kedaulatannya.
Pada 27 Agustus 2009, Presiden Rusia Dmitry Medvedev menegaskan bahwa Moskow tidak akan pernah membatalkan keputusannya mengakui Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai negara-negara yang merdeka dari Georgia.
Pasukan Rusia memasuki Georgia untuk mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan pada 7-8 Agustus 2008. Perang lima hari pada Agustus itu meletus ketika Tbilisi berusaha memulihkan kekuasannya dengan kekuatan militer di kawasan Ossetia Selatan yang memisahkan diri dari Georgia pada 1992, setelah runtuhnya Uni Sovyet.
Georgia dan Rusia tetap berselisih setelah perang singkat antara mereka pada tahun 2008.
Ossetia Selatan dan Abkhazia memisahkan diri dari Georgia pada awal 1990-an. Kedua wilayah separatis itu bergantung hampir sepenuhnya pada Rusia atas bantuan finansial, militer dan diplomatik.
Georgia tetap mengklaim kedaulatan atas kedua wilayah tersebut dan mendapat dukungan dari Barat.
Pengakuan Moskow atas kemerdekaan kedua wilayah itu menyulut kecaman dari Georgia dan banyak negara Barat.
Rusia meresmikan pengakuannya atas kemerdekaan kedua wilayah Georgia yang memisahkan diri itu, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 16 Januari 2009 ketika Presiden Dmitry Medvedev menerima duta-duta besar pertama mereka yang bersanding sejajar dengan para duta besar dari negara anggota NATO.
Nikaragua adalah negara pertama setelah Rusia yang memberikan "pengakuan penuh" kepada republik-republik Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai "anggota baru komunitas negara merdeka dunia".
Venezuela pada 10 September 2009 juga memberikan pengakuan penuh atas kemerdekaan kedua wilayah separatis Georgia itu.
Nauru, sebuah negara pulau kecil di kawasan Pasifik, mengikuti jejak Rusia mengakui kedua repubik itu sebagai negara-negara merdeka. (M014/K004)
5.000 Orang Demo Menentang Presiden Georgia
26 November 2010 01:51 WIB
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010
Tags: