Jakarta (ANTARA) - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyebutkan, untuk menciptakan daya saing yang tinggi serta membuka peluang eskpor, pengusaha Indonesia bisa mempelajari skema industri makanan dan minuman dari Eropa yang mengedepankan standarisasi produk konsumsi.

“It’s all about standard and quality control. Standardisasi dan sertifikasi menjadi hal yang penting ya saat ini di industri makanan, jadi kita tidak hanya menyediakan konsumsi di Indonesia tapi juga ekspor. Nah untuk ekspor prasyarat- prasyarat itu jadi penting,” kata Ketua Bidang Pelatihan Sumber Daya Manusia (SDM) PHRI Alexander Nayoan dalam webinar, Rabu.

Ia mencontohkan terkait standardisasi setidaknya pengusaha harus memiliki prasyarat standar kesehatan dan kualitas. Misalnya dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sertifikasi yang disiapkan adalah CHSE (Cleanliness, Health,Safety, Enviromental Friendly).

Sementara untuk di industri hotel dan restoran dikenal standar khusus bernama HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point).

Baca juga: Mantan pegawai ini buka 5 cabang kue pancong, berdayakan anak yatim

Baca juga: Motivator Merry Riana terjun ke bisnis kuliner


Pemberian standar atau pemeringkatan kualitas produk juga termasuk dalam bagian ini dan perlu ditingkatkan mengingat belum ada kontrol yang ketat terkait aturan sejenis di industri makanan dan minuman Indonesia.

“Jika ada standar yang baik, misalnya untuk daging sapi di negara Eropa ya. Itu mereka bisa tahu silsilah siapa bapak dan ibu sapinya. Itu bisa ditelusuri. Hal seperti ini yang harus dipelajari,”kata Alex.

Selanjutnya taktik bisnis yang bisa dipelajari dari Eropa oleh Indonesia adalah teknik memasarkan produk yang bisa meningkatkan daya saing di luar negeri sehingga bisa mudah dan lancar.

Alex mencontohkan salah satu pemasaran yang bisa dilakukan adalah dengan keterlibatan aktif pemerintah menyalurkan produk- produk dalam negeri untuk bisa menggandeng pasar global.

Misalnya seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa dengan gencar melakukan kerjasama aktif dengan negara lainnya untuk mengenalkan produk- produk makanan mereka lewat berbagai kegiatan seperti webinar yang mengundang media hingga aktivasi kegiatan di supermarket yang tidak hanya dilakukan pada satu waktu namun dalam kurun waktu yang berkesinambungan.

Taktik industri makanan lainnya yang bisa diadaptasi dari Eropa di Indonesia adalah para pengusaha bisa belajar meningkatkan produktivitas dan kualitas sehingga tersedia bahan makanan yang merata baik bagi industri lokal dan industri mancanegara.

“Ini yang perlu kita belajar, meningkatkan produktivitas sehingga bisa melakukan ekspor dengan lebih banyak namun kualitas terjaga. Hai yang diperhatikan benar- benar menyeluruh mulai dari pembibitan, menana, sampai waktu panennya,” ujar Alex.

Terakhir yang bisa dipelajari dari industri makanan di Eropa dan diterapkan di Indonesia adalah dari segi pengemasannya.

Seringkali yang jadi masalah dalam industri makanan dalam negeri saat melakukan ekspor adalah pengemasan yang tidak maksimal sehingga berujung pengusaha yang merugi.

Karena pengemasan yang sering ditemukan adalah pengemasan “yang penting terkirim” sehingga tidak bisa benar- benar memastikan produknya aman saat sampai di negara yang dituju.

Maka tidak jarang produk yang terkirim tidak utuh atau dari kualitas tidak baik sehingga produk itu dikembalikan ke negara yang melakukan ekspor makanan dan minuman tersebut.

“Kami di PHRI selalu memfokuskan bagaimana standar itu atau SOP- SOP yang ada bisa terjadi dengan baik,” tutup Alex.

Baca juga: Menparekraf ajak PHRI Garut siap sambut 'serangan pariwisata'

Baca juga: PHRI harap pemerintah beri kompensasi sektor hotel dan restoran

Baca juga: Sejumlah restoran di Yogyakarta pilih tutup saat perpanjangan PPKM