Rencana kenaikan cukai 2022 dikhawatirkan batasi ruang tumbuh industri
25 Agustus 2021 14:55 WIB
Pekerja melinting rokok jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT), Megawon, Kudus, Jawa Tengah. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan kebijakan tarif cukai hasil tembakau atau cukai rokok tahun 2021 naik rata-rata 12,5 persen. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/hp.
Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2022 berpotensi membatasi ruang pertumbuhan industri hasil tembakau (IHT) yang masih berupaya pulih dari dampak pandemi COVID-19.
Menurut Andry, tarif CHT tak bisa hanya dilihat sebagai komponen penerimaan negara, tapi juga harus memperhatikan keberlangsungan industrinya.
"Industri harus tumbuh untuk memberikan penerimaan negara yang optimal via cukai. Dengan kondisi pandemi dimana IHT sampai sekarang juga belum pulih, tidak menaikkan tarif cukai tahun depan sebenarnya bisa menjadi salah satu insentif, agar industrinya bisa 'bernafas' lebih dulu," ujar Andry dalam keterangan di Jakarta, Rabu.
Secara spesifik, Andry menggarisbawahi keadaan industri Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) yang dinilai terdampak cukup parah akibat pandemi dan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Sebab, industri HPTL masih sangat mengandalkan penjualan secara ritel yang saat ini terpaksa harus menutup toko akibat PPKM.
Guna menjaga keberlangsungan industri HPTL, Andry juga menyarankan pemerintah untuk mengubah skema tarif persentase yang berlaku saat ini menjadi spesifik tanpa ada kenaikan beban. Saat ini tarif cukai HPTL dipukul rata sebesar 57 persen dari harga jual eceran (HJE).
"Industri HPTL ini punya niche market (target spesifik), dan juga nilai tambah bagi perokok yang ingin beralih. Sehingga tahun depan mungkin bisa mulai diimplementasikan skema tarif spesifik tanpa kenaikan beban. Kemudian pemerintah bisa melihat seberapa cepat pemulihan industrinya, karena PPKM darurat itu sangat berpengaruh besar buat industri HPTL yang menggantungkan penjualan dari toko fisik," kata Andry.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian menyatakan pertumbuhan IHT merosot sejak tahun lalu dan diperkirakan belum akan pulih sampai akhir tahun sehingga diharapkan tidak ada kenaikan cukai hasil tembakau pada 2022. Pada 2020 lalu, pertumbuhan industri rokok tercatat minus 9,7 persen dan pada tahun ini sampai kuartal I 2021 tercatat masih minus 5,7 persen.
Kenaikan CHT juga dikhawatirkan menambah beban IHT dan berdampak pada kinerja sektor industri secara umum. Hal itu tentunya bisa menghambat target pertumbuhan ekonomi nasional yang ditetapkan pemerintah mengingat kontribusi sektor industri tersebut cukup signifikan bagi perekonomian.
Sementara itu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menilai kebijakan tarif CHT punya peran krusial terhadap perkembangan dan keberlangsungan IHT. Sebelum 2004. Tercatat ada sekitar 4 ribu pabrik rokok dan saat ini tersisa sekitar 400-500 pabrik, yang artinya pelaku usaha terus berkurang. Kebijakan tarif cukai baik untuk rokok konvensional maupun e-cigarette (HPTL) ke depan pasti akan sangat mempengaruhi perkembangan industrinya.
Kenaikan tarif cukai juga dinilai tak serta merta akan mengerek naik penerimaan negara. Salah satunya terkait kepatuhan pelaku usaha yang cenderung berkurang saat tarif cukai tinggi. Pada 2019 saat tarif cukai tidak naik, penerimaan CHT justru meningkat Rp12 triliun, sebaliknya pada 2020 saat CHT rata-rata naik 23 persen pertumbuhannya hanya sebesar Rp5,2 triliun.
Baca juga: Sri Mulyani berencana naikkan tarif cukai hasil tembakau 2022
Baca juga: Akademisi sebut simplifikasi tarif cukai dapat tingkatkan penerimaan
Baca juga: Kemenkeu jelaskan alasan beda tarif cukai SKM dan SPM
Menurut Andry, tarif CHT tak bisa hanya dilihat sebagai komponen penerimaan negara, tapi juga harus memperhatikan keberlangsungan industrinya.
"Industri harus tumbuh untuk memberikan penerimaan negara yang optimal via cukai. Dengan kondisi pandemi dimana IHT sampai sekarang juga belum pulih, tidak menaikkan tarif cukai tahun depan sebenarnya bisa menjadi salah satu insentif, agar industrinya bisa 'bernafas' lebih dulu," ujar Andry dalam keterangan di Jakarta, Rabu.
Secara spesifik, Andry menggarisbawahi keadaan industri Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) yang dinilai terdampak cukup parah akibat pandemi dan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Sebab, industri HPTL masih sangat mengandalkan penjualan secara ritel yang saat ini terpaksa harus menutup toko akibat PPKM.
Guna menjaga keberlangsungan industri HPTL, Andry juga menyarankan pemerintah untuk mengubah skema tarif persentase yang berlaku saat ini menjadi spesifik tanpa ada kenaikan beban. Saat ini tarif cukai HPTL dipukul rata sebesar 57 persen dari harga jual eceran (HJE).
"Industri HPTL ini punya niche market (target spesifik), dan juga nilai tambah bagi perokok yang ingin beralih. Sehingga tahun depan mungkin bisa mulai diimplementasikan skema tarif spesifik tanpa kenaikan beban. Kemudian pemerintah bisa melihat seberapa cepat pemulihan industrinya, karena PPKM darurat itu sangat berpengaruh besar buat industri HPTL yang menggantungkan penjualan dari toko fisik," kata Andry.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian menyatakan pertumbuhan IHT merosot sejak tahun lalu dan diperkirakan belum akan pulih sampai akhir tahun sehingga diharapkan tidak ada kenaikan cukai hasil tembakau pada 2022. Pada 2020 lalu, pertumbuhan industri rokok tercatat minus 9,7 persen dan pada tahun ini sampai kuartal I 2021 tercatat masih minus 5,7 persen.
Kenaikan CHT juga dikhawatirkan menambah beban IHT dan berdampak pada kinerja sektor industri secara umum. Hal itu tentunya bisa menghambat target pertumbuhan ekonomi nasional yang ditetapkan pemerintah mengingat kontribusi sektor industri tersebut cukup signifikan bagi perekonomian.
Sementara itu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menilai kebijakan tarif CHT punya peran krusial terhadap perkembangan dan keberlangsungan IHT. Sebelum 2004. Tercatat ada sekitar 4 ribu pabrik rokok dan saat ini tersisa sekitar 400-500 pabrik, yang artinya pelaku usaha terus berkurang. Kebijakan tarif cukai baik untuk rokok konvensional maupun e-cigarette (HPTL) ke depan pasti akan sangat mempengaruhi perkembangan industrinya.
Kenaikan tarif cukai juga dinilai tak serta merta akan mengerek naik penerimaan negara. Salah satunya terkait kepatuhan pelaku usaha yang cenderung berkurang saat tarif cukai tinggi. Pada 2019 saat tarif cukai tidak naik, penerimaan CHT justru meningkat Rp12 triliun, sebaliknya pada 2020 saat CHT rata-rata naik 23 persen pertumbuhannya hanya sebesar Rp5,2 triliun.
Baca juga: Sri Mulyani berencana naikkan tarif cukai hasil tembakau 2022
Baca juga: Akademisi sebut simplifikasi tarif cukai dapat tingkatkan penerimaan
Baca juga: Kemenkeu jelaskan alasan beda tarif cukai SKM dan SPM
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: