Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah khawatir melihat komposisi penduduk Indonesia yang jumlahnya saat ini mencapai 237,6 juta jiwa, sebanyak 13,5 persennya adalah keluarga miskin. Namun, hasil final Sensus Penduduk 2010 yang akan disampaikan BPS akhir tahun ini diperkirakan laju pertumbuhan penduduk lebih tinggi atau mencapai 1,7 persen per tahun.

Menko Kesra Agung Laksono dalam Konggres Nasional Kependudukan bertajuk "Perkembangan Kependudukan dan Pencapaian MDGs" di Kantor BKKBN Jakarta, Rabu yang yang juga menghadirkan pembicara mantan Menko Kesra Prof Dr Haryono Suyono, Ketua Koalisi Kependudukan Indra Abidin, Duta MDGs Prof Dr Nila Moeloek, dan Ketua LD-FEUI Dr Sonny Harry.

Menurut Agung, banyak permasalahan kependudukan yang kita hadapi, sehingga pemerintah harus segera menyusun rancangan besar (grand design) pembangunan perkembangan kependudukan yang meliputi aspek kualitas, kuantitas, mobilitas, dan administrasi kependudukan.

"Rancangan besar kependudukan ini akan dijadikan pedoman bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan pembangunan sesuai sektor dan wilayah masing-masing," katanya.

Dia mengatakan, komposisi penduduk usia di bawah 15 tahun cukup besar, juga harus menjadi perhatian karena mereka harus dipersiapkan untuk memasuki lapangan kerja. Pemerintah harus mempersiapkan dengan peningkatan kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan.

Untuk kelompok usia 15-24 tahun selama tahun 2009-2014 diperkirakan mencapai 44 juta jiwa tetapi sekitar separuhnya memiliki kualitas pendidikan dan keterampilan rendah dan dipastikan sulit bersaing. "Kondisi ini akan menyulitkan pemerintah untuk memutus mata rantai kemiskinan," ujar Agung.

Sementara itu, Mantan Menko Kesra Prof Dr Haryono Suyono yang juga mantan Kepala BKKBN memberikan masukan untuk menyusun rancangan besar kependudukan. "Melihat laju pertumbuhan penduduk yang mungkin bisa mencapai 1,8 persen pada pengumuman BPS tentang Sensus Penduduk di bulan Desember nanti," katanya.

Artinya, katanya, BKKBN harus lebih gigih lagi dalam melakukan gerakan KB. Haryono mengakui, gerakan KB masa sekarang lebih sulit dari pada era pemerintahan sentralistik, apalagi tingkat pendidikan saat ini jauh lebih maju.

Haryono menambahkan, struktur penduduk yang berubah juga akan mempengaruhi strategi yang harus dilakukan. "Dulu banyak yang melahirkan tetapi banyak yang meninggal, sekarang bayi yang lahir hampir hidup semua. Pasangan usia subur (PUS) saat ini bisa 6 kali dari masa lalu," ujarnya.

Namun, PUS yang semakin merasa indepen lebih sulit untuk diimbau untuk memakai kontrasepsi, sehingga siapa pun yang menjadi Kepala BKKBN jauh lebih berat tugasnya.

Haryono mengingatkan agar tidak terbuai dengan keberhasilan pemerintah yang bisa menuntaskan wajib belajar 9 tahun. "Rata-rata pendidikan orang Indonesia 7,2 tahun, karena tutnas wajar 9 tahun tidak otomatis semua selesai 9 tahun. Pada 5 tahun yang akan datang, minimun tuntas belajar 12 tahun dan ditambah dengan pelatihan keterampilan," ujarnya.

Menurut Haryono yang juga Ketua Yayasan Damandiri ini, perlu ada pendekatan baru pada penduduk. "Perlu rebranding program KB harus jadi pembangunan sosial berbasis MDGs. Pendekatan charity diubah menjadi pendekatan kependudukan yang human rights," katanya.

Kalau perlu petugas dari pusat diturunkan desa-desa dan memberi pendampingan membuat kelompok-kelompk dan pos-pos pemberdayaan keluarga (Posdaya) di desa. "Kita perlu 700 ribu hingga 750 ribu kelompok di seluruh desa. Yakinkan orang-orang desa bisa mandiri. Dana Rp240 miliar seharusnya bisa ke desa, pasti MDGs tercapai," tegas Haryono.

Haryono mengingatkan agar lansia yang jumlahnya semakin meningkat tidak boleh diabaikan."Sekitar 85 persen lansia itu masih bisa produktif, hanya 15 persen saja yang benar-benar tidak berdaya, ini harus masuk dalam grand design kependudukan," katanya.(*)