Jakarta (ANTARA News) - Batas laut sebelah barat adalah titik api perseteruan antar Korea, demikian Korea Times dalam editorialnya, Rabu.

Untuk keempat kalinya di tahun-tahun terakhir ini, (Korea) Utara melancarkan tembakan artileri ke (Korea) Selatan, yang kemudian membalas, dan membunuh dua orang serta melukai 16 lainnya.

Kali ini, provokasi Korea Utara sangat berperhitungan, berencana, dan membidik perkampungan sipil.

Penembakan terjadi beberapa hari setelah Utara memamerkan fasilitas pengayaan Uranium-nya kepada para ilmuwan Amerika dalam isyarat untuk menekan Washington guna bernegosiasi di meja perundingan.

Di sisi lain, penembakan membom satu pulau padat penduduk di Korea Selatan.

Sejak meledakkan Korean Air pada 1987, Korea Utara tak pernah lagi menyasar korban sipil. Ini adalah untuk pertama kalinya sejak Perang Korea (1950-1953) pihak Utara menyerang pulau milik pihak Selatan.

Serangan itu adalah bagian dari upaya Utara mengkonsolidasikan kesatuan dalam negerinya untuk menyongsong kepemimpinan Kim Jong-un.

Presiden Lee Myung-bak telah memerintahkan militer untuk menghadang meluasnya konflik bersenjata.

Dia menyatakan bahwa serangan itu jelas-jelas melanggar Perjanjian Gencatan Senjata. Militer Korea Selatan digelarkan dalam siaga penuh, sedangkan para pejabat pemerintah diperintahkan untuk sedia selalu.

Beberapa hari sebelum penembakan, Utara mengirimkan surat protes ke Selatan atas latihan militer yang rutin digelar Selatan.

Utara berdalih melancarkan tembakan balasan karena kapal Angkatan Laut Selatan melintasi perairannya dan menembakkan artileri.

Utara mengancam akan menenggelamkan lagi kapal kapan pun Selatan melintasi perbatasan mereka.

Utara telah memperluas ketegangan ke luar batas laut melewati Garis Batas Utara (NLL).

Pyongyang tidak mengakui NLL. Kedua angkatan laut kedua negara bertempur berdarah-darah pada 1999, 2002 dan November tahun lalu.

Utara mentorpedo sebuah kapal perang Korea Selatan Maret lalu sehingga menewaskan 46 pelaut.

Prilaku miring Korea Utara telah membenamkan harga saham di Seoul, India, Filipina, dan kemudian Eropa.

Kontak senjata itu menambah ketegangan geopolitik dalam krisis utang Eropa, dan memaksa investor beralih ke dolar AS sebagai pengamanan modal.

Eropa sedang gundah gulana setelah Irlandia berusaha mendapatkan dana talangan.

Korea dan banyak investor asing (di Eropa) akan terganggu oleh insiden Korea itu. Mereka paham bahwa risiko geopolitik terhadap investor akibat serangan Utara itu terlalu dilebih-lebihkan. Satu-satunya korban dari provokasi itu adalah justru Korea Utara sendiri.

Di masa ketika semua orang tinggal menjauh Perang Dingin, hanya Pyongyang yang masih tinggal di Perang Dingin.

Kebijakan Kim Jong-il yang menomorsatukan militer telah menelantarkan ekonomi Korea Utara dan membuat rakyatnya kelaparan.

Meski menghadapi prilaku abad kegelapan yang tak terduga dari Partai Komunis negeri itu, perekonomian Korea Selatan sukses dalam lima dekade terakhir. Provokasi Utara tidak mengganggu ekonomi Selatan.

Seoul mesti bersiap menghadapi provokasi lebih liar lainya dari Utara, termasuk uji coba senjata nuklirnya, karena Utara sedang mengkonsolidasikan kekuatan Kim Jong-un, putera Kim Il-sung yang disebut memegang tongkat estafet kepemimpinan Korea Utara. (*)

Korea Times/Adam/Jafar