Jakarta (ANTARA) - Pengamat film sekaligus Anggota Komite Film Dewan Kesenian Jakarta, Hikmat Darmawan, mengatakan platform digital atau layanan streaming (over-the-top / OTT) merupakan peluang untuk membangkitkan industri perfilman Indonesia, terutama di masa pandemi di mana bioskop masih harus ditutup.

"Ada peluang di platform digital atau OTT. Layanan ini malah bisa membuat publik yang sebelumnya mungkin belum atau tidak pernah menonton film-film Indonesia akhirnya bisa mulai mencoba. Ada banyak potential market," kata Hikmat kepada ANTARA baru-baru ini.

Baca juga: 3 Indonesia catat lonjakan trafik akses konten digital selama PPKM

"Apalagi sekarang banyak juga film yang tayang di festival dan dipuji media, kritikus, dan lainnya yang ditayangkan di sana. Belum lagi ada OTT yang punya produksi original mereka. Justru sekarang basis pasarnya menguat, orang mau mencoba dan mengonsumsi," ujarnya menambahkan.

Lebih lanjut, Hikmat menambahkan bahwa selain membuka peluang untuk sineas menghadirkan karya-karyanya dan menambah wawasan serta rekomendasi bagi masyarakat, kehadiran layanan streaming film legal juga dapat menjangkau bukan hanya penonton di dalam negeri, namun juga internasional.

"OTT juga menjadi sebuah pintu untuk produksi global dan menjangkau audiens lebih luas, misalnya mulai dari regional hingga global. Ada peluang untuk diakses lebih luas lagi," katanya.

Namun, Hikmat tak mengelak mungkin pilihan pembuat film untuk memproduksi dan mendistribusikan karyanya di layanan digital bisa sangat menantang; terutama ketika pendapatan terbesar industri perfilman umumnya datang dari penjualan tiket bioskop.

Baca juga: Dua veteran Google pimpin Noice

"Memang, yang belum ada adalah apa yang bisa menggantikan karcis bioskop ini untuk para produser. Walaupun menguntungkan bagi pasar, tapu bagi PH (production house) mungkin masih belum kelihatan. Tapi, mau tidak mau, alternatif ini tentu harus dipikirkan dan akhirnya ada beberapa PH yang mengembangkan bisnis yang adaptif," jelasnya.

Namun, apakah OTT sudah bisa menggantikan bioskop?

Masa pandemi sendiri memaksa berbagai jaringan bioskop untuk tutup sementara, membuat pemulihan bioskop menjadi lebih berat setelah sebelumnya sempat dibuka kembali dengan pembatasan okupansi penonton.

Menurut Hikmat, rasa aman dan kesehatan penonton dan mereka yang terlibat di industri film adalah yang utama saat ini.

"Orang perlu rasa aman, dan saat masih banyak yang belum ketemu model apa yang paling tepat (untuk nonton film layar lebar di bioskop). Kalau di Amerika, ada percobaan film untuk rilisnya bersamaan di bioskop dan digital. Namun, di kita belum ada yang seperti itu, mengingat di sana (AS) pun hanya studio besar yang melakukan itu," kata Hikmat.

"Satu hal yang disadari adalah penonton sekarang memilih untuk stay di digital. Kita sebisa mungkin mencari model yang berdampingan (bioskop dan digital). Di atas kertas mungkin gampang, tapi memang menantang. Namun, kalau menunggu terus sampai bioskop buka juga bukan merupakan opsi," imbuhnya.


Baca juga: Viu catat pertumbuhan pendapatan tahunan 47 persen di semester 1 2021

Baca juga: Viu salip Netflix di Asia Tenggara