Sri Mulyani paparkan alasan perpanjangan berbagi beban dengan BI
24 Agustus 2021 11:54 WIB
Tangkapan layar - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (24/8/2021). ANTARA/Astrid Faidlatul Habibah/am.
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Bank Indonesia melanjutkan burden sharing atau bagi beban melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) III dalam rangka menangani pandemi COVID-19 yang berlaku sejak tanggal ditetapkan sampai 31 Desember 2022.
“Kami bersama BI tentu sudah melakukan SKB I dan II. Saat ini kami telah melakukan persetujuan untuk membuat SKB III,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati di dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.
Sri Mulyani menjelaskan SKB III ini dilatarbelakangi oleh adanya peningkatan penyebaran COVID-19 varian Delta yang memerlukan pembiayaan besar, termasuk untuk penanganan kesehatan dan kemanusiaan.
Dasar hukum dalam SKB III meliputi UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang SUN, UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN dan UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
Secara umum pelaksanaan sinergi kebijakan dalam skema SKB III ini tetap menjaga prinsip penting dari sisi fiskal yaitu menjaga fiscal space dan fiscal sustainability jangka menengah serta menjaga kualitas belanja yang produktif.
Selain itu, juga untuk mendukung konsolidasi fiskal dengan kebijakan penurunan defisit secara bertahap menjadi di bawah tiga persen mulai 2023.
Baca juga: Perry Warjiyo: Perpanjangan burden sharing tak kurangi independensi BI
Kemudian dari sisi moneter yaitu menjaga stabilitas nilai tukar, tingkat suku bunga, dan inflasi agar tetap terkendali.
Selanjutnya adalah dari sisi makro yakni memperhatikan kredibilitas dan integritas pengelolaan ekonomi, fiskal, dan moneter sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang sustainable.
Dalam SKB III ini, BI akan membeli Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp439 triliun yang terdiri dari Rp215 triliun pada 2021 dan Rp224 triliun pada 2022.
Skema penerbitan SBN ini dibagi menjadi dua cluster yaitu pertama adalah BI berkontribusi atas seluruh biaya bunga untuk pembiayaan vaksinasi dan penanganan kesehatan terkait COVID-19 dengan maksimum limit Rp58 triliun pada 2021 dan Rp40 triliun pada 2022 sesuai kemampuan neraca BI.
Adapun bunga penerbitan SBN ini mengacu pada tingkat suku bunga reverse repo BI tenor 3 bulan yang di bawah suku bunga pasar.
Cluster kedua yaitu pemerintah menanggung suku bunga dari penerbitan SBN sebesar Rp157 triliun pada 2021 dan Rp184 triliun pada 2022 dengan tingkat suku bunga reverse repo BI tenor 3 bulan.
Baca juga: Sri Mulyani: Sinergi fiskal dan moneter minimalkan risiko global ke RI
Penerbitan SBN yang suku bunganya ditanggung pemerintah ini akan digunakan penanganan kesehatan lainnya serta penanganan kemanusiaan dalam bentuk pendanaan berbagai program perlindungan bagi masyarakat kecil terdampak.
“Tingkat suku bunga acuan reverse repo BI tenor tiga bulan ini di bawah tingkat suku bunga pasar, jadi meskipun pemerintah menanggung suku bunga namun di bawah pasar sehingga sangat meringankan,” kata Sri Mulyani.
Melalui skema tersebut maka pada 2021 ini total pembelian SBN oleh BI sebesar Rp215 triliun yang meliputi Rp58 triliun untuk penanganan kesehatan dengan bunga ditanggung BI dan Rp157 triliun untuk kemanusiaan dengan bunga ditanggung pemerintah.
Sementara total SBN yang dibeli oleh BI pada 2022 sebesar Rp224 triliun meliputi Rp40 triliun untuk penanganan kesehatan dengan bunga ditanggung BI dan Rp184 triliun untuk kemanusiaan dengan bunga ditanggung pemerintah.
Penerbitan SBN ini bersifat tradable dan marketable yang akan dilaksanakan melalui private placement dengan tenor jangka panjang yaitu lima tahun sampai delapan tahun.
“SBN yang diterbitkan bersifat tradable dan marketable serta dapat digunakan untuk operasi moneter BI,” kata Sri Mulyani.
Baca juga: BI: Realisasi berbagi beban dengan pemerintah capai Rp322,35 triliun
“Kami bersama BI tentu sudah melakukan SKB I dan II. Saat ini kami telah melakukan persetujuan untuk membuat SKB III,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati di dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.
Sri Mulyani menjelaskan SKB III ini dilatarbelakangi oleh adanya peningkatan penyebaran COVID-19 varian Delta yang memerlukan pembiayaan besar, termasuk untuk penanganan kesehatan dan kemanusiaan.
Dasar hukum dalam SKB III meliputi UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang SUN, UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN dan UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
Secara umum pelaksanaan sinergi kebijakan dalam skema SKB III ini tetap menjaga prinsip penting dari sisi fiskal yaitu menjaga fiscal space dan fiscal sustainability jangka menengah serta menjaga kualitas belanja yang produktif.
Selain itu, juga untuk mendukung konsolidasi fiskal dengan kebijakan penurunan defisit secara bertahap menjadi di bawah tiga persen mulai 2023.
Baca juga: Perry Warjiyo: Perpanjangan burden sharing tak kurangi independensi BI
Kemudian dari sisi moneter yaitu menjaga stabilitas nilai tukar, tingkat suku bunga, dan inflasi agar tetap terkendali.
Selanjutnya adalah dari sisi makro yakni memperhatikan kredibilitas dan integritas pengelolaan ekonomi, fiskal, dan moneter sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang sustainable.
Dalam SKB III ini, BI akan membeli Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp439 triliun yang terdiri dari Rp215 triliun pada 2021 dan Rp224 triliun pada 2022.
Skema penerbitan SBN ini dibagi menjadi dua cluster yaitu pertama adalah BI berkontribusi atas seluruh biaya bunga untuk pembiayaan vaksinasi dan penanganan kesehatan terkait COVID-19 dengan maksimum limit Rp58 triliun pada 2021 dan Rp40 triliun pada 2022 sesuai kemampuan neraca BI.
Adapun bunga penerbitan SBN ini mengacu pada tingkat suku bunga reverse repo BI tenor 3 bulan yang di bawah suku bunga pasar.
Cluster kedua yaitu pemerintah menanggung suku bunga dari penerbitan SBN sebesar Rp157 triliun pada 2021 dan Rp184 triliun pada 2022 dengan tingkat suku bunga reverse repo BI tenor 3 bulan.
Baca juga: Sri Mulyani: Sinergi fiskal dan moneter minimalkan risiko global ke RI
Penerbitan SBN yang suku bunganya ditanggung pemerintah ini akan digunakan penanganan kesehatan lainnya serta penanganan kemanusiaan dalam bentuk pendanaan berbagai program perlindungan bagi masyarakat kecil terdampak.
“Tingkat suku bunga acuan reverse repo BI tenor tiga bulan ini di bawah tingkat suku bunga pasar, jadi meskipun pemerintah menanggung suku bunga namun di bawah pasar sehingga sangat meringankan,” kata Sri Mulyani.
Melalui skema tersebut maka pada 2021 ini total pembelian SBN oleh BI sebesar Rp215 triliun yang meliputi Rp58 triliun untuk penanganan kesehatan dengan bunga ditanggung BI dan Rp157 triliun untuk kemanusiaan dengan bunga ditanggung pemerintah.
Sementara total SBN yang dibeli oleh BI pada 2022 sebesar Rp224 triliun meliputi Rp40 triliun untuk penanganan kesehatan dengan bunga ditanggung BI dan Rp184 triliun untuk kemanusiaan dengan bunga ditanggung pemerintah.
Penerbitan SBN ini bersifat tradable dan marketable yang akan dilaksanakan melalui private placement dengan tenor jangka panjang yaitu lima tahun sampai delapan tahun.
“SBN yang diterbitkan bersifat tradable dan marketable serta dapat digunakan untuk operasi moneter BI,” kata Sri Mulyani.
Baca juga: BI: Realisasi berbagi beban dengan pemerintah capai Rp322,35 triliun
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021
Tags: