Jakarta (ANTARA) - Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menyoroti tingkat penangkapan dan eksploitasi ikan hiu dan pari yang tinggi di Laut Arafura yang dinilai menjadi ancaman atas biodiversitas yang melimpah yang ada di kawasan perairan Indonesia.
"Ancaman atas biodiversitas dan kelimpahan ini makin nyata karena tingginya eksploitasi dan penangkapan hiu dan pari. Salah satu perairan yang merupakan lokasi favorit penangkapan dan eksploitasi ikan hiu dan pari di Indonesia adalah Laut Arafura," kata Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Menurut Abdi Suhufan, dalam kurun waktu 2018-2020 produksi sirip hiu kering yang tercatat oleh otoritas setempat di Aru adalah mencapai hingga sebanyak 56 ton.
Selain itu, ujar dia, setiap tahun rata-rata laut Aru menghasilkan 18,6 ton sirip hiu kering dengan berbagai ukuran kecil sampai besar dengan nilai Rp11,3 miliar. Volume dan nilai ini sirip hiu akan bertambah tinggi jika menambahkan transaksi perdagangan lainnya seperti daging, kulit, tengkorak dan rahang hiu.
"Dalam tiga tahun terakhir, total volume produksi daging, kulit, tengkorak dan rahang hiu mencapai 805 ton," kata Abdi dan menambahkan, selain hiu, eksploitasi dan penangkapan ikan pari kikir atau kekeh juga sangat tinggi, yakni mencapai 7,5 ton dalam kurun waktu 2018-2020.
Angka eksploitasi hiu dan pari, lanjutnya, akan lebih tinggi jika ditambahkan dengan kegiatan penangkapan hiu yang tidak dilaporkan.
Ia menilai bahwa tingginya eksploitasi dan penangkapan ikan hiu di Kepulauan Aru salah satunya dikarenakan masih adanya izin yang diterbitkan oleh pemerintah provinsi Maluku untuk kapal-kapal rawai pencari hiu ukuran di bawah 30 gross tonnage (GT).
"Sejauh ini penangkapan hiu belum menerapkan sistem kuota sehingga laju eksploitasi hiu tidak dapat dikontrol," kata Abdi.
Peneliti DFW Indonesia, Asrul Setyadi menyoroti komitmen pemerintah Indonesia dalam mengendalikan penangkapan hiu dan pari.
Asrul memaparkan, saat ini ada dua kebijakan dan regulasi tentang hal ini yaitu Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi dan Pengelolaan Hiu dan Pari 2016-2020 dan Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2021 Tentang Kuota Pengambilan Untuk Pemanfaatan Jenis Ikan Yang Dilindungi Terbatas Berdasarkan Ketentuan Nasional Dan Jenis Ikan Dalam Appendiks II Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora.
"Dokumen RAN 2016-2020 tidak efektif karena tidak memuat secara lengkap peran dan tanggung jawab para pihak, kerangka waktu dan pendanaan sehingga sulit untuk mengevaluasi pelaksanaannya," ujar Asrul.
Sementara terkait Kepmen KP No 21/2021, hal ini merupakan inisiatif dan terobosan KKP untuk mengendalikan penangkapan hiu dan pari.
"Implementasi Permen KP ini akan menghadapi tantangan pada aspek pengawasan dan pencatatan karena selama ini petugas kesulitan melakukan identifikasi jenis hiu yang ditangkap dan sudah diolah," kata Asrul.
Baca juga: KKP: Perairan Arafura dan Timor penting untuk ekologi dan ekonomi
Baca juga: KKP dan pemda diminta tingkatkan pengawasan di perairan Arafura
Baca juga: KKP: Keberadaan ikan hiu-pari indikator kesehatan laut
DFW soroti eksploitasi ikan hiu dan pari di Laut Arafura
23 Agustus 2021 11:26 WIB
Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan. ANTARA/Dokumentasi Pribadi
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021
Tags: