Surabaya (ANTARA Nws) - Terdakwa kasus mafia pajak Gayus H Tambunan agaknya hanya "puncak dari gunung es" dari jutaan mafia yang merebak dimana-mana.
Diakui atau tidak, praktik mafia hukum atau "perdagangan" perkara bukan barang baru yang berada di sekitar masyarakat.
Bahkan, "jual beli" perkara bukan hanya ada di kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan, melainkan juga menembus "jantung" birokrasi dan partai politik.
Dalam praktiknya, pemerintah, DPR, dan lembaga penegak hukum memang cukup sukses melakukan perbaikan sistem, namun sukses itu hanya "di permukaan."
Adalah Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Heru Pramono yang justru mengakui bahwa cara kerja mafia hukum saat ini kian canggih.
"Saya belum sampai tiga bulan menjabat di sini, tapi banyak mafia yang mendekati," katanya saat berbicara dalam seminar yang digelar Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) di Surabaya (11/11).
Menurut dia, mafia yang mendekati dirinya itu meminta agar kasus-kasus yang mestinya sudah harus diekseskusi supaya ditunda atau dibatalkan.
"Caranya pun canggih, di antaranya mereka mempelajari latar belakang dirinya. Misalnya, saya kelahiran Blitar, maka mafia hukum itu mencari tokoh Blitar untuk mempengaruhi saya," katanya.
Tidak hanya itu, katanya, mereka juga mencari latar belakang pendidikannya yang pernah kuliah di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
"Mereka mencari profesor saya untuk menemui saya dan mempengaruhi sikap saya," katanya.
Bahkan, koleganya saat dirinya menjadi hakim di PN Jakarta Pusat pun didekati untuk dapat mempengaruhi sikap Heru.
"Alhamdulilllah, saya belum terpengaruhi, karena itu saya akan memperbaiki anak buah saya, sebab mafia hukum itu juga ada karena ada anak buah saya yang mau dipengaruhi," katanya.
Ibaratnya, pengadilan merupakan "gawang terakhir" dari penegakan hukum, namun segenap sudut ruang peradilan sudah "diobok-obok" mafia hukum, bahkan mereka pun tak gentar merayu Ketua PN Surabaya.
Bila "gawang terakhir" sudah sebegitu parah, maka gawang penegakan hukum lainnya akan sangat mudah, karena para mafia itu "mengatur" perkara dari hulu ke hilir untuk "menyelamatkan" kliennya.
Paling tidak, Gayus sudah membuktikan hal itu dengan kepiawaian "menjebolkan" Rutan Brimob Kepala Dua, Depok, Jakarta.
Sejujurnya, kepolisian sebagai "gawang pertama" penegakan keadilan agaknya sudah mengalami banyak perubahan, misalnya pengurusan SIM/STNK atau penanganan pelanggar lalu lintas oleh polisi di jalan raya.
Namun, apa yang tampak "di permukaan" itu tidak betul-betul identik dengan apa yang sebenarnya terjadi "di dalam", bahkan di masyarakat ada pameo laporan kehilangan kambing ke polisi itu sama dengan kehilangan sapi.
"Saya pernah ditangkap dan diminta Rp75 juta bila mau lepas, lalu saya ditangkap lagi dan diminta Rp150 juta untuk bebas. Yang terakhir, saya diminta Rp250 juta. Saya terpaksa jual dua mobil," ujar seorang pengguna narkoba yang sudah tiga kali ditangkap.
Pengakuan pengguna narkoba itu menunjukkan polisi hanya menjerat bandar atau pengedar narkoba, namun polisi "memperdagangkan" kasus narkoba yang menyangkut pengguna/pemakai narkoba.
Dalam UU 35/2009 tentang Narkotika, sanksi hukum untuk pengedar atau bandar memang diatur, namun sanksi hukum untuk pengguna adalah sanksi rehabilitasi dengan biaya rehabilitasi ditanggung negara.
UU Narkotika yang baru itu tidak merinci "negara" yang dimaksud, apakah Dinas Kesehatan atau siapa, sehingga polisi juga kesulitan, sebab biaya rehabilitasi juga mahal.
Hal itulah yang agaknya mendorong polisi "mempermainkan" kasus narkoba bila menyangkut pengguna atau pemakai, apalagi polisi juga mengalami kesulitan biaya dalam penanganan perkara narkoba.
Misalnya, untuk "memancing" tersangka narkoba seringkali harus menyediakan uang terlebih dulu untuk membeli narkoba yang nilainya puluhan juta.
Tentu, polisi yang sudah mengeluarkan biaya "memancing" perkara itu akan kesulitan lagi bila harus mengeluarkan biaya untuk rehabilitasi, sehingga mereka pun dilepas dengan "tarif" tertentu yang sebagian mungkin untuk biaya "memancing" itu, ujarnya.
Sesungguhnya, negara tidak boleh kalah melawan mafia atau "perdagangan" perkara, namun bagaimana caranya?!
Anggota Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) Irjen Pol Herman Effendi mengaku sepakat kalau perkara besar seperti narkoba itu perlu melibatkan negara dalam `budgeting` (anggaran khusus).
"Untuk itu, kami akan menyampaikan usulan itu ke Kapolri," katanya dalam seminar yang digelar Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) di Surabaya (11/11).
Solusi lain juga ditawarkan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur Irjen Pol Badrodin Haiti yang juga berbicara dalam seminar itu.
"Pengawasan internal selama ini memang tidak efektif untuk menangkal mafia hukum, karena pengawasan itu hanya bersifat internal. Misalnya, Reskrim (Reserse Kriminal) diawasi Reskrim," katanya.
Oleh karena itu, pihaknya mengkaji pengawasan yang melibatkan divisi lain seperti bidang hukum, profesi dan pengamanan (Propam), dan Inspektur Pengawasan Daerah (Irwasda)
Bahkan, Kapolda juga mempertimbangkan untuk menggandeng pihak eksternal yang memiliki kompetensi penyidikan guna melakukan pengawasan ke internal kepolisian.
Perlunya pengawasan internal itu pun "diamini" Kajati Jatim M Farella, bahkan ia menambahkan perlu percepatan proses penyelidikan/penyidikan perkara untuk menangkal mafia hukum.
"Kami akan bekerja cepat, misalnya tujuh hari untuk perkara di tingkat tertentu. Saya sendiri akan melakukan inspeksi yang tidak terjadwal ke bawah, nanti saya tidak akan menegur, tapi saya akan mengingatkan untuk perbaikan," katanya.
Senada dengan itu, Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Heru Pramono juga sepakat dengan peningkatan pengawasan internal, namun seperti Kajati Jatim yang mengusulkan percepatan waktu, maka Ketua PN Surabaya juga mengusulkan pengawasan internal dengan memutus "mata rantai" mafia di pengadilan.
"Tahun 2006 ada 15 jaksa di Jatim yang terkena sanksi dalam pengawasan internal, sedangkan tahun 2009 ada 70 jaksa kena sanksi. Artinya, pengawasan internal itu tidak efektif, karena jaksa yang terkena sanksi semakin banyak," katanya.
Hal itu, katanya, kemungkinan ada kaitan dengan cara kerja mafia hukum yang kian canggih saat ini, karena itu pihaknya akan memutus "mata rantai" mafia hukum dengan melakukan pendekatan terhadap anak buahnya yang memberi peluang masuknya para mafia hukum itu.
Impor hakim
Solusi berupa "anggaran khusus" (budgetting kasus), pengawasan internal, percepatan penangan perkara, dan pendekatan terhadap oknum penegak hukum yang "bermain" perkara itu agaknya dianggap belum cukup.
"Saya tidak percaya, kita akan mampu melawan mafia hukum yang cukup canggih itu dengan solusi biasa-biasa saja, buktinya Gayus H Tambunan justru mampu menembus banyak pintu," kata pakar hukum internasional I Wayan Titib Sulaksana SH MH.
Menurut dosen senior di Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, pengadilan sebagai "gawang terakhir" perlu dibenahi secara radikal terlebih dulu.
"Barangkali, kita perlu meniru Singapura atau Malaysia yang melakukan perbaikan di jajaran kehakiman melalui impor hakim dari Inggris pada tahun 1970-an. Kalau kita mungkin impor hakim ke Belanda, karena kitab hukum kita buatan Belanda," katanya.
Para hakim impor dari Belanda itu, katanya, nantinya memutuskan perkara secara benar sebagai contoh, sekaligus melakukan pelatihan calon hakim agar mereka bisa bersikap profesional saat menjadi hakim.
"Saya lebih setuju kalau kita mengimpor hakim dengan mempensiunkan hakim-hakim senior yang masa jabatannya tinggal 4-5 tahun," katanya.
Sementara itu calon-calon hakim yang baru melamar, katanya, hendaknya tidak dijadikan pegawai negeri sipil (PNS) terlebih dulu, melainkan mereka harus dilatih para hakim impor dari Belanda itu dengan status masih sebagai calon PNS (CPNS).
Bagaimana dengan kasus Gayus sendiri? "Saya usulkan orang seperti dia dimiskinkan dulu, sita semua uang dan aset miliknya, sehingga hanya tersisa apa yang dipakai saja," katanya.
Setelah itu, Gayus hendaknya tidak dimasukkan penjara khusus, tapi justru dikumpulkan dengan maling-maling pada umumnya yang mendekam di LP Cipinang.
"Untuk kasusnya jangan diserahkan ke pengadilan bila belum ada hakim impor, karena akan memunculkan koruptor baru dari kalangan hakim, namun Presiden harus menyerahkan kasus Gayus ke KPK," katanya.
Tidak cukup hakim dan Gayus yang ditertibkan, katanya, para advokat/pengacara dan masyarakat sipil yang "mempermainkan" perkara juga perlu ditertibkan, karena "perdagangan perkara" itu bersifat "supply and demand" dan pragmatisme.
Agaknya, upaya melawan mafia hukum itu sesederhana kasus Gayus Tambunan, sebab Gayus hanya puncak dari "gunung es" yang tentunya perlu penanganan komprehensif mulai dari "budgetting perkara khusus", pengawasan internal, percepatan waktu perkara hingga impor hakim.
(ANT/A024)
Gayus Hanya Puncak "Gunung Es"
20 November 2010 13:51 WIB
Oleh Edy M Ya`kub
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010
Tags: