Perkiraan itu diungkapkan itu pada saat negara tersebut dengan hati-hati membuka kembali perbatasannya dan melonggarkan pembatasan COVID-19.
“Saya tidak yakin warga mau menggunakan masker. Tapi, di sisi lain, saya rasa kita semua sudah terbiasa dengan itu,” kata Vivian Balakrishnan, dokter yang kini menjadi politisi, kepada Reuters.
“Itu harus menjadi ukuran terakhir yang kita lepaskan,” katanya dalam wawancara.
Menggunakan masker menjadi wajib sejak April tahun lalu di Singapura, yang dinilai sebagai negara tersukses dalam menanggulangi wabah virus corona. Di negara itu, tercatat hanya 46 orang yang meninggal dunia.
Singapura telah memvaksinasi lebih dari tiga per empat dari 5,7 juta penduduknya.
Balakrishnan juga mengatakan bahwa pemerintah akan berpegang pada komitmennya untuk berhenti menggunakan teknologi pelacakan kontak virus corona ketika pandemi ini berakhir.
“Ini seharusnya bukan keputusan politik, dan tidak untuk dipolitisasi. Biarkan para ahli memberi tahu kami apakah pelacakan kontak sejauh itu masih dibutuhkan atau membantu dan apakah itu menjaga keselamatan warga kami,” tuturnya.
Teknologi yang digunakan sebagai aplikasi ponsel dan perangkat fisik itu wajib digunakan di sebagian besar tempat umum di Singapura. Kekhawatiran terkait privasi muncul terhadap aplikasi tersebut di beberapa negara.
Singapura memastikan bahwa data terenkripsi, disimpan secara lokal, dan hanya bisa disadap oleh pihak berwenang jika yang bersangkutan terkonfirmasi positif COVID-19.
Namun, adanya pengungkapan bahwa polisi bisa menggunakan data tersebut untuk investigasi kriminal memantik reaksi publik. Singapura kemudian menyusun undang-undang yang mengatur penggunaan data untuk penyelidikan kriminal.
Sumber: Reuters
Baca juga: Penerima vaksin di Singapura sumbang 75 persen kasus COVID-19
Baca juga: Kasus COVID meningkat, Singapura kembali perketat pembatasan