Kemenkes ungkap alasan penurunan harga tes cepat COVID-19
19 Agustus 2021 21:15 WIB
Tangkapan layar Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) Prof. dr. Abdul Kadir dalam diskusi panel daring "Menyikapi Keputusan Pemerintah Tentang Penurunan Harga Test PCR" di Jakarta, Kamis (19/8/2021). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)
Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) Prof. dr. Abdul Kadir mengemukakan sejumlah pertimbangan yang memengaruhi penetapan turunnya harga tes cepat COVID-19 di Indonesia.
“Hal ini disebabkan memang karena pada tahap awal dari pandemi COVID-19 itu, kami menentukan tarif dengan mengacu pada dasar harga pada saat itu,” kata Abdul, dalam diskusi panel daring "Menyikapi Keputusan Pemerintah tentang Penurunan Harga Test PCR" di Jakarta, Kamis.
Abdul menjelaskan pemerintah menentukan harga tes COVID-19 dan harga peralatan medis dengan harga pada saat awal pandemi COVID-19 terjadi.
“Jadi pada saat itu bisa dibayangkan harga APD sekitar 600 ribuan sekarang 120 ribu. Jadi memang selisihnya luar biasa. Anti reagen waktu itu juga sangat mahal, sekarang harganya hanya sepertiga dari harga normal dan semua harga pada saat itu sudah turun semua,” kata dia, menjelaskan kondisi harga alat-alat kesehatan yang telah mengalami penurunan.
Ia mengatakan, penentuan harga tes sebesar Rp495 ribu itu diambil setelah dilakukan penghitungan ulang dari semua harga komponen.
“Berdasarkan itulah kami melakukan penghitungan ulang untuk unit cost yang dihitung adalah semua komponen. Dari komponen jasa dokter, jasa laboran, kami hitung semua. Kami juga hitung sampai kepada penyusutan dari pada mesin yang digunakan, barang habis pakai, reagen, over heat cost nya, sampai ke administrasinya. Sampai kami berikan margin profit sekitar 15 persen. Jadi didapatkanlah harganya Rp495 ribu seperti itu,” ujar dia.
Lebih lanjut ia menjelaskan, alasan harga tes polymerase chain reaction (PCR) di provinsi lainnya mengalami perbedaan dengan Jawa-Bali adalah adanya biaya pengiriman dan biaya angkut transportasi untuk bahan habis pakai dan alat-alat tes tersebut.
"Oleh karena memang kami memperhitungkan biaya pengiriman biaya angkut dan transportasi untuk bahan habis pakai dan barang reagen itu. Sehingga dengan demikian didapatkan hasil Rp525 ribu," kata dia, menjelaskan alasan terdapat perbedaan harga untuk luar pulau Jawa-Bali.
Abdul juga menegaskan bahwa harga tes tersebut diperuntukkan bagi masyarakat yang ingin melakukan tes mandiri saja. Seperti bagi para pelaku perjalanan yang membutuhkan tes PCR 1x24 jam untuk persyaratan perjalanan.
“Satu saya tekankan di sini bahwa pemeriksaan PCR batas tertinggi ini hanya diperuntukkan kepada mereka yang membutuhkan, kebetulan pemeriksaan PCR yang memang atas permintaan sendiri,” kata Abdul.
Ia menjelaskan, tes PCR yang dilakukan untuk keperluan testing dan tracing tidak akan dipungut biaya apapun dan semua biayanya ditanggung oleh pemerintah.
Lebih lanjut dia mengatakan, pengawasan terkait dengan harga tes tersebut telah diserahkan kepada lembaga kesehatan yang berwenang.
“Desk kesehatan sebagai perpanjangan tangan pusat sebagai bagian dari otonomi daerah itu diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan. Sehingga melakukan pembinaan bilamana ada laboratorium, rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya yang tidak patuh terhadap edaran ini,” ucap dia.
“Hal ini disebabkan memang karena pada tahap awal dari pandemi COVID-19 itu, kami menentukan tarif dengan mengacu pada dasar harga pada saat itu,” kata Abdul, dalam diskusi panel daring "Menyikapi Keputusan Pemerintah tentang Penurunan Harga Test PCR" di Jakarta, Kamis.
Abdul menjelaskan pemerintah menentukan harga tes COVID-19 dan harga peralatan medis dengan harga pada saat awal pandemi COVID-19 terjadi.
“Jadi pada saat itu bisa dibayangkan harga APD sekitar 600 ribuan sekarang 120 ribu. Jadi memang selisihnya luar biasa. Anti reagen waktu itu juga sangat mahal, sekarang harganya hanya sepertiga dari harga normal dan semua harga pada saat itu sudah turun semua,” kata dia, menjelaskan kondisi harga alat-alat kesehatan yang telah mengalami penurunan.
Ia mengatakan, penentuan harga tes sebesar Rp495 ribu itu diambil setelah dilakukan penghitungan ulang dari semua harga komponen.
“Berdasarkan itulah kami melakukan penghitungan ulang untuk unit cost yang dihitung adalah semua komponen. Dari komponen jasa dokter, jasa laboran, kami hitung semua. Kami juga hitung sampai kepada penyusutan dari pada mesin yang digunakan, barang habis pakai, reagen, over heat cost nya, sampai ke administrasinya. Sampai kami berikan margin profit sekitar 15 persen. Jadi didapatkanlah harganya Rp495 ribu seperti itu,” ujar dia.
Lebih lanjut ia menjelaskan, alasan harga tes polymerase chain reaction (PCR) di provinsi lainnya mengalami perbedaan dengan Jawa-Bali adalah adanya biaya pengiriman dan biaya angkut transportasi untuk bahan habis pakai dan alat-alat tes tersebut.
"Oleh karena memang kami memperhitungkan biaya pengiriman biaya angkut dan transportasi untuk bahan habis pakai dan barang reagen itu. Sehingga dengan demikian didapatkan hasil Rp525 ribu," kata dia, menjelaskan alasan terdapat perbedaan harga untuk luar pulau Jawa-Bali.
Abdul juga menegaskan bahwa harga tes tersebut diperuntukkan bagi masyarakat yang ingin melakukan tes mandiri saja. Seperti bagi para pelaku perjalanan yang membutuhkan tes PCR 1x24 jam untuk persyaratan perjalanan.
“Satu saya tekankan di sini bahwa pemeriksaan PCR batas tertinggi ini hanya diperuntukkan kepada mereka yang membutuhkan, kebetulan pemeriksaan PCR yang memang atas permintaan sendiri,” kata Abdul.
Ia menjelaskan, tes PCR yang dilakukan untuk keperluan testing dan tracing tidak akan dipungut biaya apapun dan semua biayanya ditanggung oleh pemerintah.
Lebih lanjut dia mengatakan, pengawasan terkait dengan harga tes tersebut telah diserahkan kepada lembaga kesehatan yang berwenang.
“Desk kesehatan sebagai perpanjangan tangan pusat sebagai bagian dari otonomi daerah itu diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan. Sehingga melakukan pembinaan bilamana ada laboratorium, rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya yang tidak patuh terhadap edaran ini,” ucap dia.
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021
Tags: