Jakarta (ANTARA) - Penyerapan gabah hasil panen petani yang dilakukan oleh Perum Bulog terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun sejak 2016 hingga saat ini, kata Direktur Supply Chain Perum Bulog Mokhamad Suyamto.

Suyamto dalam keterangannya pada webinar mengenai cadangan pangan yang diselenggarakan oleh Pataka di Jakarta, Rabu, mengungkapkan penyerapan gabah petani pada tahun 2016 sebesar 3,2 juta ton; 2017 2,7 juta ton; 2018 1,9 juta ton; 2019 1,1 juta ton; 2020 1,6 juta ton; dan 2021 sebanyak 559 ribu ton.

Menurut Suyamto, penurunan penyerapan gabah petani oleh Perm Bulog ini dikarenakan perseroan menyesuaikan dengan stok yang ada dan rencana penyaluran beras yang merupakan Cadangan Beras Pemerintah (CBP).

"Di satu sisi kita harus menjaga stok, di sisi lain harus menyerap, di sisi lain penyalurannya terbatas. Ini mengakibatkan penyerapan kita tidak maksimal. Pengadaan menurun dari tahun ke tahun," katanya.

Perum Bulog sebagai BUMN memiliki tugas untuk menstabilkan harga gabah atau beras di tingkat produsen dengan cara menyerap hasil panen petani agar tidak jatuh karena pasokan yang melimpah. Gabah atau beras tersebut akan disimpan sebagai CBP, yang artinya tidak untuk dijual secara komersial oleh Bulog.

Beras CBP merupakan beras pemerintah yang penggunaannya harus atas persetujuan pemerintah seperti bantuan sosial seperti Beras PPKM, rastra, untuk kebencanaan, dan juga untuk operasi pasar guna menstabilkan harga beras di pasaran. Sesuai ketentuannya, Bulog diwajibkan untuk menjaga stok CBP di kisaran 1 - 1,5 juta ton untuk memastikan ketahanan pangan.

Namun yang menjadi persoalan, kata Suyamto, Bulog saat ini tidak bisa menyalurkan beras CBP secara rutin setiap tahunnya dikarenakan tidak ada kebutuhan rutin untuk mengeluarkan beras CBP.

Jika sebelumnya pemerintah memiliki program beras untuk keluarga sejahtera (Rastra) yang diberikan kepada masyarakat tidak mampu dengan menggunakan beras CBP Bulog, sejak 2018 program tersebut diubah menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang tak lagi menggunakan beras CBP.

Kondisi tersebut membuat stok beras di gudang Bulog menumpuk sehingga menyebabkan penyerapan gabah petani tidak maksimal. Hal tersebut mengakibatkan jatuhnya harga gabah di tingkat petani yang berdampak pada kesejahteraan petani.

Suyamto mencatat pada tahun 2020 dan 2021 banyak terjadi anjloknya harga gabah di tingkat petani, yang biasanya hanya tiga sampai empat bulan terdapat turunnya harga gabah menjadi terdapat sembilan bulan harga gabah turun dalam setahun.

Yang terbaru, kata Suyamto, harga gabah turun hingga 40 persen dari harga pokok produksi (HPP) pada bulan Juli 2021. Turunnya harga gabah tersebut dikarenakan Bulog tidak melakukan penyerapan di bulan Juli lantaran pada Juni 2021 stok CBP sudah mendekati 1,5 juta ton atau berada pada batas maksimal.

"Di masa panen gadu (panen musim tanam kedua), kasus harga jatuh sampai 40 persen harga di bawah HPP. Bulan juni stok Bulog sudah dekati 1,5 juta ton, kita hentikan pengadaan. Akibatnya di Juli banyak harga gabah di bawah HPP, ini kondisi yang kita tidak inginkan, tapi di satu sisi Bulog harus jaga stok 1 - 1,5 ton tapi tidak ada penyaluran menyebabkan pengadaan tidak optimal," katanya.

Baca juga: Peneliti ingin peran Bulog dalam rantai pasok dievaluasi
Baca juga: Budi Waseso targetkan Bulog hanya produksi beras premium mulai 2022
Baca juga: Peneliti: Antisipasi tingkat konsumsi beras nasional yang meningkat