Jakarta (ANTARA) - Anggota Ombudsman RI Dadan Suharmawijaya mengatakan tumpang tindih kepemilikan tanah menjadi permasalahan yang masih membayangi implementasi reforma agraria.

Dalam diskusi virtual bertema "Meninjau Capaian Reforma Agraria Dalam Penyelesaian Konflik Agraria dan Redistribusi Tanah" yang digelar Ombudsman RI, Rabu, Dadan menjelaskan laporan mengenai agraria ke lembaganya merupakan yang tertinggi dan tumpang tindih kepemilikan tanah menjadi salah satu persoalan utama.

Dia mencontohkan, terdapat laporan dari masyarakat transmigran di Ujung Batu, Sumatera Utara, yang secara normatif telah memiliki Surat Keputusan (SK) penempatan tanah namun tidak dapat menempati dan mengelola sepenuhnya karena beririsan dengan hak guna usaha (HGU) perusahaan serta kawasan hutan.

Selain tumpang tindih kepemilikan tanah, Dadan juga menjabarkan substansi laporan pertanahan lain yang diterima Ombudsman dalam kaitannya dengan reforma agraria, yakni mengenai pelayanan pertanahan seperti pendaftaran tanah, pengukuran ulang tanah, hingga pengembalian batas tanah.

Terdapat pula laporan mengenai pelayanan pertanahan yang bertendensi konflik dan tumpang tindih lainnya seperti permohonan hak melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap atau (PTSL) sebagai proses pendaftaran tanah untuk pertama kali yang terhenti karena adanya klaim aset dari instansi pemerintah atau BUMN.

Baca juga: Anggota DPD minta kinerja gugus tugas reforma agraria dioptimalkan

Baca juga: AMAN dorong revisi Perpres Reforma Agraria demi wilayah adat


Pengadaan tanah yang meliputi proses pembayaran ganti rugi, nilai ganti rugi tanah sisa, tanah terdampak, dan tanah terisolir juga meliputi substansi laporan yang masuk ke Ombudsman, papar Dadan.

"Banyak dari permasalahan-permasalahan ini adalah 'problem' lama, warisan dari tahun-tahun sebelumnya," ucap dia.

Dadan menerangkan, pelayanan terkait pertanahan atau agraria merupakan yang paling banyak dilaporkan masyarakat kepada Ombudsman sejak tahun 2016 hingga saat ini.

Sebanyak 10.872 laporan masyarakat menempatkan persoalan agraria berada di urutan pertama, melampaui laporan terkait kepegawaian, kepolisian, pendidikan, administrasi kependudukan, peradilan, perhubungan dan infrastruktur, kesehatan, serta ketenagakerjaan.

"Aduan yang muncul sampai lebih dari 10 ribu kasus menunjukkan bahwa persoalan agraria adalah persoalan nyata dan menjadi kepedulian maupun kepentingan masyarakat," kata Dadan.

Oleh karena itu, dia memberikan catatan penting bahwa implementasi reforma agraria yang salah satunya bertujuan untuk menangani konflik sengketa pertanahan, masih belum optimal dan terbukti dari banyak permasalahan agraria yang belum selesai.

Dadan juga menekankan pentingnya kebijakan ekstra dari pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan permasalahan pertanahan atau agraria.

Baca juga: Menilik upaya pemerintah tuntaskan konflik agraria

"Laporan masyarakat mengindikasikan bahwa penyelesaiannya perlu kebijakan yang ekstra dalam hal ini melalui Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) seperti dalam konflik perkebunan dan konflik antara masyarakat dengan pemerintah dalam konteks PTSL," ujar Dadan.

Diskusi itu juga dihadiri oleh Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Surya Tjandra, Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria S.W. Sumardjono, dan Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika.