Makassar (ANTARA) - Epidemiolog asal Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Ridwan Amiruddin mengemukakan angka kematian di Sulawesi Selatan tampak mengalami peningkatan, yang kecenderungannya mulai ke kelompok remaja dewasa produktif.

Sebelum PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), kata Prof Ridwan di Makassar, Selasa, tingkat kematian masyarakat akibat COVID-19 berada di angka 1,5 persen dan selama PPKM meningkat hingga 1,9 persen.

"Artinya kematian yang tinggi ini sudah menyasar juga kelompok produktif, karena tidak terlepas dari isolasi mandiri yang didorong oleh pemerintah sebelumnya," ujarnya.

Kematian yang tinggi di Rumah Sakit itu dinilai adalah mata rantai dari isolasi mandiri yang tidak terkelola dengan baik, khususnya untuk usia produktif rata-rata usia 25-50 tahun.

"Sekarang ada tiga lokasi isolasi yang disediakan pemerintah yaitu isolasi apung di kapal Pelni, di Asrama Haji dan
Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) Makassar Jalan Moha Lasuloro, Antang, Kecamatan Manggala.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "3 Tempat Isolasi Gratis untuk Pasien Covid-19 di Makassar, Fasilitas Lengkap dan Diawasi Nakes", Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2021/07/27/195504778/3-tempat-isolasi-gratis-untuk-pasien-covid-19-di-makassar-fasilitas-lengkap?page=all.
Penulis : Kontributor Makassar, Hendra Cipto
Editor : Teuku Muhammad Valdy Arief

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L
di Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) Makassar Jalan Moha Lasuloro, Antang. Harapannya bagaimana agar kasus ringan dan sedang dapat dikelola supaya tidak mengalami perburukan," ujar Guru Besar FKM Unhas tersebut.

Baca juga: Epidemiolog minta pemerintah samakan persepsi COVID-19 setiap daerah
Baca juga: Pengamat: Sosialisasi secara mikro dapat tingkatkan penerapan prokes


Jika langkah isolasi mandiri ini tidak dilaksanakan seperti itu, menurut Ridwan, maka orang yang terkonfirmasi positif dan isolasi di rumahnya, bisa jadi klaster baru dalam keluarga. Sehingga tingkat penularan akan terus tinggi karena sumbernya di tingkat rumah tangga.

Ia menjelaskan, dengan adanya varian Delta baru, maka 4-5 hari setelah terinfeksi pemburukan akan terjadi.

"Pasien COVID-19 terindikasi virus COVID-19 varian Delta tidak sempat diberikan pelayanan, mau ke rumah sakit terlambat karena transportasi, sampai di rumah sakit masih antre di UGD hingga tidak dapat pelayanan dan akhirnya meninggal di situ. Secara global, varian Delta berpengaruh sekitar 92 persen termasuk di Indonesia," katanya.

Prof Ridwan mengatakan COVID-19 ini masih menjadi pandemi dan itu akan turun jadi endemik yang artinya COVID-19 sepanjang masa dan sudah menjadi hal yang biasa.

"Ada skenarionya, dia bisa hilang dengan sendirinya dan dia muncul 50 atau 100 tahun lagi," kata dia.

Menurut dia, isolasi mandiri yang bagus dan sesuai tentu akan memperbaiki kondisi kasus COVID-19 atau semakin menurun angka penularannya. Selain itu, vaksin yang ada betul-betul berfungsi memberi perlindungan di angka cakupan 70 persen untuk bisa lepas dari krisis ini.

"Pemerintah harus siapkan logistik secara maksimum. Sekarang di angka 25 persen cakupannya," ujarnya.

Paling penting, lanjut Ridwan adalah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan. "Jika mau keluar dari krisis COVID-19 harus melalui pendekatan kesehatan masyarakat yakni kepatuhan prokes di atas 95 persen sementara saat ini masih sekitar 70 persen," katanya.

Baca juga: Epidemiolog dukung kebijakan pemerintah pertahankan PPKM
Baca juga: Epidemiolog harapkan para tokoh jadi panutan penanganan COVID-19
Baca juga: Asrama Haji Makassar rawat pasien COVID-19 dari luar Sulsel