Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah harus menyelamatkan antibiotik turunan penisilin yang menghilang sejak 3-4 tahun terakhir karena digantikan antibiotik jenis sefalosporin yang berlipat-lipat lebih mahal.

"Hilangnya penisilin di dunia membuat harga obat-obatan antibiotik menjadi mahal," kata Ketua Jurusan Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran UGM Prof dr Iwan Dwiprahasto pada diskusi "Sinergi Unsur Akademisi, Bisnis, dan Pemerintah untuk Membangun Industri Bahan Baku Obat Antibiotik Turunan Beta Laktam" di Jakarta, Kamis.

Menurut Iwan, hilangnya penisilin karena zat itu dianggap tidak lagi memberi keuntungan bagi industri obat sehingga bahan bakunya sengaja tak diproduksi lagi.

"Alasan bahwa penisilin sudah resisten itu tidak masuk akal. Resisten itu hanya untuk jangka pendek, bukan jangka panjang. Stigmatisasi terhadap penisilin itu disengaja," katanya.

Dia menambahkan bahwa tidak ada bukti atau hasil survei resistensi penisilin di berbagai rumah sakit.

Ia mencontohkan, suatu jenis obat antibiotik penisilin yang harganya hanya Rp18 ribu-Rp24 ribu per ampul menjadi sekitar Rp200 ribu per ampul setelah digantikan antibiotik sefalosporin.

"Padahal kasiat kedua jenis antibiotik beta-laktam ini sama saja," katanya.

Menurut dia, dalam perjalanannya ditemukan bahwa tingkat resistensi tinggi antibiotik sefalosporin terjadi di mana-mana akibat penggunaan yang luas dan intensif.

"Namun resistensi antibiotik berubah-ubah. Bisa saat ini sudah resisten tapi enam bulan lagi kembali seperti semula," katanya.

Menurut dia, obat-obatan yang bagus seperti penisilin harus diselamatkan dan didorong kembali untuk diproduksi.

Ia meminta pemerintah memberi insentif kepada BUMN industri obat misalnya dengan menghapus berbagai pajak, dari mulai pajak bahan baku penisilin, produksi, distribusi hingga pajak penjualan penisilin di tingkat apotek.

Sementara itu Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi BPPT Dr Listyani Wijayanti menyesalkan bahwa 96 persen bahan baku obat-obatan di Indonesia masih diimpor.

Industri obat di Indonesia, menurut dia, hanya terfokus pada kemasan dan promosi, padahal potensi biodiversitas Indonesia sangat tinggi, termasuk tumbuhan yang menjadi bahan baku penisilin. (*)

D009/s018/AR09