Jakarta (ANTARA News) - Manusia tercepat dunia, sprinter Usain Bolt, "hanya" bisa berlari dalam kecepatan 10,4 meter per detik ketika menciptakan rekor dunia 100 meter dengan waktu 9,58 detik pada Kejuaraan Dunia 2009.

Kecepatan berlari manusia tercepat di dunia ini ternyata kalah jauh dari laju awan panas hasil letusan gunung berapi yang disebut "wedhus gembel" oleh penduduk sekitar Gunung Merapi dan "pyroclastic flows" oleh dunia ilmiah.

EA Bryant, dalam "Natural Hazards" terbitan 1991, menyebut kecepatan awan panas terkecil bisa mencapai 30 meter per detik, sedangkan yang besar bisa berkecepatan 200 meter per detik atau 20 kali kecepatan Usain Bolt berlari.

Awan mematikan ini pun bisa sangat tebal. Misal, pada letusan Gunung Pinatubo di Filipina tahun 1991, tebal awan panas mencapai 30-50 meter, namun di daerah lain bisa lebih tebal lagi hingga 220 meter. Jangkauannya bisa sejauh 100 km dari pusat letusan di gunung api.

Yang fantastis, mengutip EA Bryant, awan panas bisa setebal 1.000 meter. Jika rata-rata tinggi badan orang Indonesia 165 cm, maka tebal awan panas bisa setinggi 600 orang dewasa yang dijejerkan ke atas.

Lalu, sepanas apakah awan panas itu?

Ketika Gunung Pinatubo di Filipina meletus, awan panas yang dikeluarkannya bersuhu 750 derajat Celcius, sementara awan panas hasil letusan Gunung St Helens pada 1980 yang disebut letusan gunung api terdahsyat di Amerika Serikat, mencapai 350 derajat Celcius.

Tapi yang paling dahsyat adalah awan panas hasil letusan Gunung Pelee di St. Pierre, Martinique, Prancis pada 1902.

Suhu yang dibawa awan panas oleh gunung api ini mencapai 1.075 derajat Celcius. Panas setinggi ini setara dengan 10 kali panas air mendidih atau sepuluh kali suhu 100 derajat Celcius.

Pada letusan Gunung Merapi sendiri, berdasarkan citra satelit, panas "wedhus gembel" yang dimuntahkan gunung ini mencapai 600 derajat Celcius atau enam kali panas air mendidih.

Dengan kecepatan minimal tiga kali kecepatan berlari sprinter tercepat dunia, suhu yang setara dengan enam kali panas air mendidih, dan tebal awan minimal seperempat tinggi Tugu Monas, maka siapapun tak akan selamat dari "wedhus gembel."

Hanya mereka yang memacu kendaraannya cepat-cepat, dan yang berada di bunker tahan panaslah yang mungkin selamat.

Yang menarik, dari Gunung Vesuvius yang menghancurkan kota Pompeii pada 79 Masehi, sampai letusan Merapi sekarang, korban-korban tewas akibat letusan gunung api serupa satu sama lain.

Belalang dibakar

"Jika digambarkan seperti kita membakar belalang, maka belalang itu akan kaku dan hangus. Korban yang diterpa awan panas akan kaku dan hangus yang dilumuri debu," kata pakar geologi Universitas Indonesia, Dr. Rokhmatuloh, kepada ANTARA News, Senin (8/11).

"National Geographic" bahkan menyebut korban letusan Merapi 26 Oktober lalu adalah versi modern dari kehancuran Pompeii di era purba, karena mayat-mayat kaku berdebu di Merapi mirip dengan korban tewas di Pompeei dua millenium lalu.

"Jika awan panas itu tidak berlalu atau diam saja, maka dapat dipastikan korban akan menjadi abu," kata Rokhmatuloh.

Tak heran, jika para vulkanolog menyebut "pyroclastic flows" atau "wedhus gembel" adalah material vulkanik yang paling mematikan.

Gambaran lainnya adalah letusan Gunung Pelee di St Pierre, Prancis, pada 1902.

Sebanyak 29 ribu penduduk kota itu mati seketika dalam pada posisi terakhir tubuhnya bergerak, persis korban Merapi 108 tahun kemudian. Hanya satu orang yang selamat di St Pierre dan dia adalah penghuni tahanan bawah tanah di kota itu.

Kandungan awan panas diantaranya terdiri dari gas fluor, belerang, H2S (gas asam), magnesium, dan kalium.

Fluor adalah gas halogen beracun berwarna kuning-hijau yang paling reaktif dan elektronegatif. Gas ini amat berbahaya karena menyebabkan pembakaran kimia parah begitu berhubungan dengan kulit.

"Polusi gas asam yang mengandung belerang menyerang sistem pernapasan manusia dan merusakkan paru-paru," kata pakar geofisika dari Universitas Indonesia, Dr. Abdul Haris, kepada ANTARA News.

Satu laman yang diasuh seorang geolog (mivo-sys.tripod.com/pyroclastic.html), mengilustrasikan bagaimana awan panas merusak paru-paru untuk kemudian mencabut nyawa manusia.

"Kebanyakan orang yang mati akibat awan panas adalah karena tertimpa reruntuhan atau terbakar abu panas dan gas beracun," kata laman ini.

Mereka yang terkubur biasa terperangkap oleh udara panas yang luar biasa. Gas dan debu bersuhu 660 derajat Celcius akan dengan mudah membakar apapun, dari pakaian hingga tubuh manusia.

Pembakaran berhenti jika oksigen habis di sekitar wilayah terselimuti awan panas. Namun, begitu oksigen masuk lagi, wilayah itu bakal segera terbakar kembali.

Patuhi saja

Gas dan abu panas itu dihirup korban. Paru-paru korban seketika layu atau tersumbat akibat menghirup material vulkanik ekstrem itu, lalu beberapa lama kemudian korban mati seketika.

Contohnya adalah para korban tragedi St Pierre pada 1902 yang harus manahan derita berhari-hari karena paru-parunya terbakar. Mereka kemudian akhirnya meninggal dunia.

Mayat-mayat yang ditemukan di kota itu dan juga Pompeii, umumnya dalam posisi menggeliat, seperti kehabisan nafas atau oksigen.

Tapi penelitian terbaru terhadap kota Pompeii justru menyebutkan bahwa penduduk Pompeii tewas karena terkaman awan panas, bukan karena kehabisan oksigen.

"Dari pola warna dan retakan tulang, korban mati karena panas yang ekstrem," kata vulkanolog Giuseppe Mastrolorenzo seperti dikutip National Geographic News (2/10).

Dia melanjutkan, "Suhu yang naik sampai 300 derajat Celcius atau lebih, cukup untuk membunuh ratusan orang dalam hitungan detik."

Dua ribu tahun setelah Pompeii, awan panas juga yang mengambil nyawa lebih dari seratus orang penduduk lereng Gunung Merapi.

"Mayat-mayat dalam posisi menggeliat-geliat itu bukan akibat menahan sakit berkepanjangan, melainkan karena seketika kaku akibat tekanan panas menerkam tubuh," kata Mastrolorenzo.

Paparan ini mungkin cukup membantu menggambarkan mengapa manusia harus dijauhkan dari daerah-daerah yang berada di jangkauan sebaran awan panas.

Bukan saja karena awan panas atau "wedhus gembel" ini efeknya mengerikan dengan tak menyisakan apapun yang disentuhnya, tetapi karena material vulkanik ini juga begitu sulit diprediksi kapan datang dan berhentinya.

Untuk itu, adalah sangat penting bagi warga sekitar Gunung Merapi untuk mematuhi saja rekomendasi-rekomendasi yang diberikan pakar vulkanologi dan otoritas penanggulangan bencana.

Bahkan jika aktivitas gunung berapi itu selesai, masih perlu waktu sekurang-kurangnya dua minggu lagi sebelum para pengungsi diizinkan kembali ke rumahnya.

"Waktu dua minggu adalah untuk meneliti apakah aktifvitas gunung berapi seperti kegempaannya, benar-benar selesai," demikian Rokhmatulah. (*)

(adm/AR09/R009)