London (ANTARA News/AFP) - Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague, mengecam pemilihan umum Myanmar pertama setelah 20 tahun, dengan mengatakan bahwa pemilu itu "cacat" dan tidak menunjukkan kemajuan atas negara junta, Minggu.

"Kami mengetahui hasil pemilu ini merupakan kesimpulan yang terdahulu. Mereka tidak akan merdeka, adil atau tertutup," ujar Hague dalam pernyataannya.

Dengan mengadakan pemilu yang cacat, mereka tidak dapat menunjukkan kemajuannya. Bagi masyarakat Myanmar, hal itu berarti kembali kepada kekuasaan rezim sadis yang telah merampas sumber daya milik negara dan dipadang sebagai pelanggaran berat Hak Asasi Manusia, termasuk penahanan sewenang-wenang, penculikan paksa, pemerkosaan, serta penyiksaan.

Dia mengatakan bahwa Inggris akan melanjutkan upaya penekanan kepada rezim militer hingga kami melihat kemajuan sebenarnya dalam demokrasi, pemerintahan dan HAM.

Hague mengatakan bahwa lebih dari 2.100 tahanan politik masih ditahan di Myanmar yang melakukan pemilihan pada Minggu dalam pemilu pertamanya setelah dua periode karena intimidasi keluhan dilakukan untuk menakuti pemungutan suara yang merupakan kepalsuan.

Tokoh demokrasi, Aung San Suu Kyi, masih ditahan dan dua partai yang mendukung junta bersama-sama memenuhi dua per tiga jumlah calon, dengan hanya menyisakan sedikit kesempatan sukses bagi oposisi.

Pemenang Nobel Perdamaian, Suu Kyi, meraih kekuasaan melalui partainya pada 1990, namun hasilnya tidak pernah diakui oleh para jenderal yang berkuasa. Suu Kyi telah ditahan sejak 20 tahun terakhir, dan dia mendukung penundaan pemilu pada Minggu. (BPY/K004)