TBC juga mematikan seperti COVID-19
12 Agustus 2021 20:21 WIB
Foto dokumen: Petugas medis mendata warga saat pemeriksaan rontgen sebagai prosedur Skrining Tuberkolusis di Gedung PKL, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Selasa (10/11/2020). ANTARA FOTO/Candra Yanuarsyah/agr/aww.
Jakarta (ANTARA) - Koordinator Substansi Tuberkulosis Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan, dr. Tiffany Tiara Pakasi mengatakan, sama seperti COVID-19, penyakit tuberkulosis atau TBC juga bisa mematikan bila tak diobati sampai tuntas.
Tak hanya dampak, dua masalah kesehatan yang terjadi di Indonesia itu juga memiliki kemiripan cara penularannya, yakni dari batuk atau bersin orang yang terinfeksi dan organ pernapasan yang diserang.
Bila COVID-19 akibat infeksi virus SARS-CoV-2, sementara tubekulosis akibat bakteri Mycobacterium tuberculosis yang sama-sama menyerang organ pernapasan yakni paru-paru.
Baca juga: Mengenal TBC resisten obat dan kendala penanganan
"Mari bekerja bahu membahu untuk mengatasi dua penyakit yang sebenarnya cara penularannya itu mirip dan juga efek mematikannya mungkin lebih cepat COVID-19 tetapi sebenarnya TBC juga mematikan jika tidak diatasi secara tuntas sampai sembuh," ujar dia dalam sebuah webinar kesehatan tentang TBC, Kamis.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, sebanyak 1,4 juta orang meninggal karena tuberkulosis pada tahun 2019. Di seluruh dunia, penyakit ini termasuk salah satu dari 10 penyebab kematian teratas dan penyebab utama dari agen infeksi tunggal (di atas HIV/AIDS).
Walau mematikan, TBC bisa diobati dan disembuhkan. Sejak tahun 2000, diperkirakan 63 juta nyawa diselamatkan melalui diagnosis dan pengobatan TB.
Oleh karena itu, pasien tetap harus minum obat rutin hingga sembuh. Kepatuhan minum obat juga membantu mencegah resistan obat yang membuat pengobatan lebih lama dan berpotensi menularkan kepada yang kontak. Di sisi lain, pelayanan tuberkulosis pun diupayakan tidak berhenti walau di masa pandemi.
Baca juga: Deteksi dini TBC, adakah tes rapid untuk tuberkolusis?
"TBC di masa COVID-19, pasiennya harus tetap minum obat. Kelompok yang rentan tolong jangan diabaikan khususnya anak-anak, ibu hamil, lansia, pasien dengan komorbid karena tetap perlu ditanggulangi TBC-nya juga," kata Tiara.
Tetapi, mengingat adanya penyesuaian di masa pandemi ini terkait logistik, maka ada relaksasi dalam pengambilan obat. Tiara membolehkan obat diambil dari yang semula seminggu sekali menjadi dua minggu sekali.
Selain itu, demi pencegahan, orang yang sehat disarankan tetap menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat seperti mengonsumsi makanan bergizi seimbang, berolahraga rutin, rajin mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun, memastikan rumah mendapatkan sinar Matahari dan ventilasi udara memadai, memakai masker serta menerapkan etika batuk yang benar.
"Penting tetap ada edukasi untuk pencegahan TBC di masa pandemi COVID-19 ini," demikian tutur Tiara.
Baca juga: Memahami si menular tuberkulosis
Baca juga: Anak usia sekolah termasuk kelompok yang berisiko tinggi tertular TBC
Tak hanya dampak, dua masalah kesehatan yang terjadi di Indonesia itu juga memiliki kemiripan cara penularannya, yakni dari batuk atau bersin orang yang terinfeksi dan organ pernapasan yang diserang.
Bila COVID-19 akibat infeksi virus SARS-CoV-2, sementara tubekulosis akibat bakteri Mycobacterium tuberculosis yang sama-sama menyerang organ pernapasan yakni paru-paru.
Baca juga: Mengenal TBC resisten obat dan kendala penanganan
"Mari bekerja bahu membahu untuk mengatasi dua penyakit yang sebenarnya cara penularannya itu mirip dan juga efek mematikannya mungkin lebih cepat COVID-19 tetapi sebenarnya TBC juga mematikan jika tidak diatasi secara tuntas sampai sembuh," ujar dia dalam sebuah webinar kesehatan tentang TBC, Kamis.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, sebanyak 1,4 juta orang meninggal karena tuberkulosis pada tahun 2019. Di seluruh dunia, penyakit ini termasuk salah satu dari 10 penyebab kematian teratas dan penyebab utama dari agen infeksi tunggal (di atas HIV/AIDS).
Walau mematikan, TBC bisa diobati dan disembuhkan. Sejak tahun 2000, diperkirakan 63 juta nyawa diselamatkan melalui diagnosis dan pengobatan TB.
Oleh karena itu, pasien tetap harus minum obat rutin hingga sembuh. Kepatuhan minum obat juga membantu mencegah resistan obat yang membuat pengobatan lebih lama dan berpotensi menularkan kepada yang kontak. Di sisi lain, pelayanan tuberkulosis pun diupayakan tidak berhenti walau di masa pandemi.
Baca juga: Deteksi dini TBC, adakah tes rapid untuk tuberkolusis?
"TBC di masa COVID-19, pasiennya harus tetap minum obat. Kelompok yang rentan tolong jangan diabaikan khususnya anak-anak, ibu hamil, lansia, pasien dengan komorbid karena tetap perlu ditanggulangi TBC-nya juga," kata Tiara.
Tetapi, mengingat adanya penyesuaian di masa pandemi ini terkait logistik, maka ada relaksasi dalam pengambilan obat. Tiara membolehkan obat diambil dari yang semula seminggu sekali menjadi dua minggu sekali.
Selain itu, demi pencegahan, orang yang sehat disarankan tetap menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat seperti mengonsumsi makanan bergizi seimbang, berolahraga rutin, rajin mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun, memastikan rumah mendapatkan sinar Matahari dan ventilasi udara memadai, memakai masker serta menerapkan etika batuk yang benar.
"Penting tetap ada edukasi untuk pencegahan TBC di masa pandemi COVID-19 ini," demikian tutur Tiara.
Baca juga: Memahami si menular tuberkulosis
Baca juga: Anak usia sekolah termasuk kelompok yang berisiko tinggi tertular TBC
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: