Sleman (ANTARA News) - Hulu Sungai Gendol yang berada di atas wilayah Cangkringan, Sleman, Yogyakarta yang berjarak 5 km dari puncak Merapi berubah menjadi bukit (gundukan) lahar yang dimuntahkan gunung itu Kamis malam (4/11) lalu.

"Sebelum tertimbun, sungai ini lebar dan dalam. Kira-kira sedalam 30 meter. Seperti jurang kalau dilihat dari tepi sungai," kata Suwarjo (42) penduduk setempat yang meninggalkan lokasi pengungsian untuk menengok rumahnya.

Ketika ANTARA mendatangi lokasi pada Sabtu siang dan menyaksikan dari jarak sekitar 5 meter dari hulu sungai itu, Suwarjo berteriak, memperingatkan bahwa material itu masih mengandung bara.

Bagi orang luar, bukan penduduk Cangkringan, fenomena di Sungai Gendol itu mencengangkan.

Tak ada tanda-tanda sama sekali bahwa di bawah gundukan besar lahar ribuan ton itu adalah sebuah sungai sedalam jurang. Aroma belerang yang menyengat tercium di kawasan berbahaya ini.

Di sekitar hulu sungai terdapat perkampungan yang sudah ditinggal mengungsi oleh penduduknya. Atap rumah-rumah dan daun-daun pepohonan besar tertutupi abu dan pasir.

Kebun salak luluh lantak, porak-poranda. Cangkringan menjadi kawasan mati, dengan kerusakan yang masif.

Kawasan lereng Merapi yang mengalami kehancuran hampir merata adalah Desa Glagaharjo. Sepanjang jalan menuju puncak Merapi, pohon-pohon bertumbangan. Tiang listrik dari beton patah, tiang telepon roboh dan kabel-kabelnya terburai.

Sejumlah rumah penduduk tampak berantakan. "Hujan pasir campur lahar membuat semuanya seperti ini," kata seorang penduduk setempat yang sedang menengok rumahnya.

Pemadangan di Cangkringan yang mengalami kerusakan di mana-mana itu terasa magis. Semua pohon besar bisa tumbang, atau dahan-dahannya patah. Daun-daun pohon kelapa lunglai berwarna coklat kusam setelah tertimpa hujan pasir dan awan panas.

Perkebunan salak morat-marit. Tanaman jagung hanya tinggal onggokan kusam di pematang.

Tapi hamparan padi yang baru disemai, yang baru setinggi sepuluh centimeter, sama sekali utuh, dengan warna kehijauan yang menyegarkan.

"Aneh bin ajaib. Pohon besar bertumbangan. (Tapi) Padi yang baru tumbuh itu seperti tak tersentuh lahar Merapi," komentar seorang yang mengantar ANTARA memasuki wilayah rawan bahaya letusan Merapi itu.

Pengamatan lapangan di Glagaharjo itu tak berlangsung lama karena seorang relawan yang datang mengingatkan untuk segera menjauh dari puncak Merapi.

Suara hujan angin disertai gelegak seperti air mendidih yang datang dari perut Merapi semakin menyadarkan bahwa Merapi bisa muntah sewaktu-waktu.

Aktivis-relawan penolong korban Merapi itu seperti mulai mengenal tabiat Merapi. Dia segera menarik pegas motornya dan melaju menjauh dari puncak Merapi. Dia tak mau berpacu melawan kecepatan lahar Merapi yang oleh pakar geologi diibaratkan sekencang mobil Formula Satu.

(M020/D009/S026)