Peneliti LIPI: Sebaiknya adakan jeda 2,5 tahun antar pemilu
11 Agustus 2021 17:15 WIB
Tangkapan layar saat Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro memberi pemaparan dalam Focus Group Discussion dengan topik Tata Kelola Negara Berdasarkan Paradigma Pancasila yang diselenggarakan secara daring. (11/8/2021). ANTARA/Putu Indah Savitri/pri.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) sebaiknya diberi jeda 2,5 tahun antara pemilihan nasional dan pemilihan daerah.
"Sebaiknya adakan jeda 2,5 tahun yang didahului oleh pemilu nasional atau formula lain yang dianggap tepat," kata Siti Zuhro dalam focus group discussion dengan topik Tata Kelola Negara Berdasarkan Paradigma Pancasila yang diselenggarakan secara daring, Rabu.
Jeda selama itu, menurut Siti, dapat untuk mengamati dan meninjau kembali penyelenggaraan pemilu sebelumnya. Hasil peninjauan kembali bisa untuk meningkatkan penyelenggaraan pemilu di masa depan.
Baca juga: Peneliti sebut penyederhanaan surat suara jadi tantangan bagi pemilih
Siti Zuhro juga menjadikan Pemilu 2019 sebagai bahan evaluasi. Penyelenggaraan pemilu serentak pada tahun 2019 justru mengakibatkan petugas pemilihan mengalami kelelahan, bahkan menimbulkan lebih dari 500 korban jiwa akibat beban kerja yang terlampau berat.
Peristiwa tersebut memperkuat usulan Siti Zuhro agar pelaksanaan pemilu tidak lagi secara bersamaan. Selain memberikan jeda waktu untuk melakukan evaluasi, pemberian jeda juga dapat mengurangi beban kerja para petugas pemilihan umum.
Di samping mengusulkan pemberian jeda, dia juga menyampaikan saran bagi petugas yang berwenang untuk menyempurnakan sistem pemilu.
"Perlu penyempurnaan sistem pemilu menuju satu formula sistem campuran yang memungkinkan aspek representatif di satu sisi dan aspek akuntabilitas di sisi lain," ucapnya.
Menurut Siti, format pemilu yang saat ini sedang diimplementasikan di Indonesia dapat menjadi lebih baik apabila dalam prosesnya lebih diperlihatkan dialog atau perdebatan serius antara kandidat tentang agenda yang mereka rencanakan untuk masa depan bangsa.
"Perdebatan tentang arah dan strategi kebijakan seperti apa yang ditawarkan oleh para kandidat dalam memajukan daerah atau negara," tuturnya.
Dengan memaksimalkan perdebatan, menurut Siti, masyarakat dapat melihat kapabilitas dan akuntabilitas para kandidat pemimpin yang akan mereka pilih.
Oleh karena itu, dia berharap masyarakat dapat memilih pemimpin yang tidak hanya didasari oleh popularitas dan elektabilitas. Namun, juga didasari oleh kapasitas dan kapabilitas para calon.
Baca juga: KPU matangkan Pemilu 2024 berbasis manajemen risiko
Baca juga: Puskapol UI: Tim seleksi penyelenggara Pemilu 2024 harus berintegritas
"Sebaiknya adakan jeda 2,5 tahun yang didahului oleh pemilu nasional atau formula lain yang dianggap tepat," kata Siti Zuhro dalam focus group discussion dengan topik Tata Kelola Negara Berdasarkan Paradigma Pancasila yang diselenggarakan secara daring, Rabu.
Jeda selama itu, menurut Siti, dapat untuk mengamati dan meninjau kembali penyelenggaraan pemilu sebelumnya. Hasil peninjauan kembali bisa untuk meningkatkan penyelenggaraan pemilu di masa depan.
Baca juga: Peneliti sebut penyederhanaan surat suara jadi tantangan bagi pemilih
Siti Zuhro juga menjadikan Pemilu 2019 sebagai bahan evaluasi. Penyelenggaraan pemilu serentak pada tahun 2019 justru mengakibatkan petugas pemilihan mengalami kelelahan, bahkan menimbulkan lebih dari 500 korban jiwa akibat beban kerja yang terlampau berat.
Peristiwa tersebut memperkuat usulan Siti Zuhro agar pelaksanaan pemilu tidak lagi secara bersamaan. Selain memberikan jeda waktu untuk melakukan evaluasi, pemberian jeda juga dapat mengurangi beban kerja para petugas pemilihan umum.
Di samping mengusulkan pemberian jeda, dia juga menyampaikan saran bagi petugas yang berwenang untuk menyempurnakan sistem pemilu.
"Perlu penyempurnaan sistem pemilu menuju satu formula sistem campuran yang memungkinkan aspek representatif di satu sisi dan aspek akuntabilitas di sisi lain," ucapnya.
Menurut Siti, format pemilu yang saat ini sedang diimplementasikan di Indonesia dapat menjadi lebih baik apabila dalam prosesnya lebih diperlihatkan dialog atau perdebatan serius antara kandidat tentang agenda yang mereka rencanakan untuk masa depan bangsa.
"Perdebatan tentang arah dan strategi kebijakan seperti apa yang ditawarkan oleh para kandidat dalam memajukan daerah atau negara," tuturnya.
Dengan memaksimalkan perdebatan, menurut Siti, masyarakat dapat melihat kapabilitas dan akuntabilitas para kandidat pemimpin yang akan mereka pilih.
Oleh karena itu, dia berharap masyarakat dapat memilih pemimpin yang tidak hanya didasari oleh popularitas dan elektabilitas. Namun, juga didasari oleh kapasitas dan kapabilitas para calon.
Baca juga: KPU matangkan Pemilu 2024 berbasis manajemen risiko
Baca juga: Puskapol UI: Tim seleksi penyelenggara Pemilu 2024 harus berintegritas
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021
Tags: