Klaten (ANTARA News) - Ketika memasuki kawasan penampungan pengungsi warga lereng Gunung Merapi di tiga kabupaten Provinsi Jawa Tengah, sepertinya tidak ada beda dengan memasuki lokasi pameran.

Sepanjang jalan mulai dari Kantor Pemerintah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, menuju lokasi pengungsian di Kecamatan Selo, misalnya, sejumlah spanduk operator telepon seluler sudah menyambut.

Suasana memasuki kawasan keramaian kian terasa saat berada di lokasi pengungsiana. Puluhan spanduk, baliho, dan umbul-umbul berjajar dan dipajang di tempat strategis untuk mencuri perhatian khalayak dan media yang selama 10 hari terakhir ini tercurah dalam bencana Merapi, juga tsunami Mentawai.

Namun, tampaknya itu belum cukup. Sejumlah tenda penampungan pengungsi juga ditempel logo dan nama produk, mulai dari produk makanan kecil, operator telepon seluler, hinggan produk jasa asuransi kesehatan.

Memang benar, perusahaan-perusahaan itu memberi bantuan kepada korban amukan Gunung Merapi. Namun, pemasangan atribut promosi seperti itu seolah lebih menegaskan kebenaran pemeo bahwa tidak ada makan siang yang gratis.

Sejak Merapi meletus pada 26 Oktober 2010, lokasi pengungsian memang menjadi objek yang banyak dikunjungi beragam lapisan masyarakat, mulai rakyat biasa hingga Presiden.

Efek sebaran berpromosi di lokasi pengungsian juga sangat luas, sebab setiap saat mendapat publikasi intens oleh media, terutama televisi.

Barang kali kalau jumlah atribut iklan itu masih dalam batas wajar, itu bisa ditoleramsi, tapi jumlahnya agaknya sudah sangat banyak sehingga menimbulkan kesan saat ini sedang ada hajatan, ada pesta, bukan tengah prihatin menghadapi ancaman seriius letusan Merapi.

Cara promosi berlebihan di lokasi bencana itulah yang membuat Raja Yogyakarta geram sehingga minta aparatnya menurunkan umbul-umbul dari lokasi bencana.

Sultan Hamengku Buwono X itu prihatin di tengah masih banyaknya kekurangan selimut hangat untuk puluhan ribu pengungsi, perusahaan malah foya-foya menggunakan puluhan ribu meter untuk umbul-umbul dan spanduk.

"Saya di sini setiap malam sangat kedinginan karena saya tak punya selimut," keluh Muljinem (60), warga Dusun Ngablak yang "hijrah" di penampungan pengungsi di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali.

Saking tak kuat menahan dingin karena Muljinem divonis dokter mengidap alergi hawa dingin, Rabu (3/11) dini hari nenek berperawakan kurus itu nekat pulang ke rumahnya di Dusun Ngablak yang berada di daerah rawan bencana karena dusun ini hanya berjarak kurang dari empat kilometer dari puncak Merapi.

"Saya tidak bisa tidur di dalam tenda pengungsian. Sangat dingin karena tanpa selimut dan dinding bawah tenda juga mudah diterobos hawa dingin dari luar," kata Muljinem dalam bahasa Jawa halus.

Penderitaan yang dialami Muljinem tentu juga dirasakan ribuan pengungsi lainnya, namun tidak banyak yang memiliki nyali seperti Muljinem yang nekat pulang ke rumah pada malam hari hanya untuk tidur!

Panik

Penderitaan warga di kaki dan lereng Merapi tentu bertambah berat setelah salah satu gunung teraktif di dunia ini Rabu (3/11) pukul 15.20 WIB meletus kembali dengan keras yang menyebabkan hujan lebat abu dan pasir.

Ribuan orang yang terjebak dalam hujan abu dan pasir itu dipaksa mengisap partikel material yang disemburkan Merapi.

Ratusan penduduk harus mendapatkan perawatan akibat terserang sesak napas. Klinik darurat RSUD dr. Moewardi Solo yang membuka pelayanan di lokasi pengungsian Kaputran Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, sepanjang Rabu sore hingga larut malam terus dibanjiri korban letusan Merapi dengan keluhan utama sesak napas.

"Baru hari ini kami kewalahan melayani para pengungsi. Hari yang memaksa kami harus bekerja keras karena harus melayani korban tanpa henti," kata paramedis di Klinik darurat RSUD dr. Moewardi.

Ribuan warga di kaki dan lereng Merapi di Jawa Tengah hingga Rabu tengah malam masih berjuang untuk mendapatkan tempat berteduh di lokasi pengungsian yang terasa kian sesak setelah letusan sore itu.

Puluhan tenda yang ada di Lapangan Kaputran sudah tidak mampu lagi menampung ribuan pengungsi yang terus berdatangan semenjak Merapi meletus dan mengeluarkan material vulkanik dalam jumlah sangat besar.

Sartoyo (53), warga Dusun Kaliwuluh yang berada di pengungsian Kaputran mengatakan, tidak pernah ada hujan abu dan pasir sebesar seperti sekarang ini. Itulah yang membuat ribuan pada Rabu sore panik luar biasa, mencari tempat aman.

Sementara itu, sejumlah pengungsi lainnya yang sudah berhari-hari mengalami kejenuhan karena tidak tahan lagi hidup di pengungsian. Mereka mengalami stres karena sampai saat ini belum ada tanda-tanda amukan Merapi akan mereda, bahkan letusan Rabu lalu malah membuat kondisi Merapi kian tidak menentu.

Alih-alih pengungsi bisa kembali ke rumah, Badan Vulkanologi malah mengeluarkan keputusan memperluas daerah aman hingga 15 kilometer, sebelumnya 10 km dari Puncak Merapi.

"Saya stres karena setiap hari menjalani hidup di pengungsian. Saya ingin segera bisa kembali ke rumah," kata Kasmadi (33), di pengungsian Kaputran, Klaten.

Puluhan ribu warga yang berada di pengungsian tentu memiliki harapan sama dengan Kasmadi, namun saat ini Merapi sepertinya memperlihatkan gelagat yang berbeda dengan letusan tahun-tahun lalu.

"Saya minta para pengungsi bersabar," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika mengunjungi pengungsi di Kemalang, Klaten, Rabu pagi, beberapa jam sebelum Merapi meletus kembali.
(ANT/P003)