Jakarta (ANTARA News) - Betapa kita dirundung nestapa menyaksikan terpaan musibah demi musibah yang menghujam saudara-saudara kita di seantero Nusantara belakangan ini.

Belum kering air mata meratapi saudara kita di Wasior (Papua) yang dihanyutkan oleh banjir bandang; gunung Merapi di Jogjakarta memuntahkan lahar dan menghabisi ratusan nyawa; tsunami di Mentawai juga menyapu apa saja di wilayah pesisir.

Oleh sebagian kalangan, bertubinya musibah tersebut dikaitkan dengan cara kita yang kurang bijak memperlakukan alam, sehingga alam melampiaskan kemurkaannya.

Beberapa dasawarsa yang lalu, istilah-istilah keganjilan alam seperti: pasang tinggi, pemanasan global, kiranya masih asing di pendengaran kita. Banjir bandang pun dulu jarang terjadi.

Namun akhir-akhir ini, terminologi tersebut menjadi sangat kerap menghampiri telinga kita. Kesemuanya itu barangkali sebagai wujud reaksi dari alam, manakala homeostasi alami dengan kelentingan ekologisnya telah mulai terserabut.

Sangatlah tepat kiranya kalau analisis risiko lingkungan dicantumkan dalam pasal 14 UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada analisis risiko lingkungan dikaji karakteristik, perilaku, dan sebaran dampak dari suatu kegiatan terhadap lingkungan serta opsi mitigasinya.

Sebaliknya karakteristik dan keunikan lingkungan yang bisa menimbulkan pengaruh terhadap suatu keberlanjutan kegiatan juga dicermati. Selain itu, di dalam analisis risiko juga dielaborasi kemungkinan terjadinya bencana dan pengaruhnya terhadap penghuni alam ini serta formulasi mitigasi dan langkah yang dilakukan selama dan setelah terjadinya bencana untuk mengurangi dan memulihkan kehancuran yang terjadi.

Bencana Alam dan Bencana Ulah Manusia

Bencana alam seperti: tsunami, gempa, gunung meletus, munsoon, gelombang tinggi, badai, gerakan tanah (landslide) dan murka alam lainnya barangkali sudah merupakan suratan takdir. Tak banyak yang bisa diperbuat manusia untuk mencegah gejala alam demikian. Mengantisipasi, merespon, dan merehabilitasi pasca terjadinya gejala alam tersebut menjadi satu-satunya upaya.

Sebaliknya bencana akibat ulah manusia (technological or man-made disaster) seperti: kelalaian manusia, ketamakan (greedy), menggunungnya sampah, kegagalan teknologi, polusi, wabah penyakit, banjir bandang, longsor, dsb, sejatinya dapat dicegah, diminimalisasi, atau direhabilitasi. Juga dapat diprediksi dan dikuantifikasi: jenis, jumlah, frekuensi, lokasi, dan daya merusak. Bahkan dispersi dan durasi dampak dalam dimensi ruang dan waktu kiranya juga dapat diprakirakan via pemodelan atau simulasi.

Kondisi yang menentukan apakah bahaya (hazards) yang terjadi akan menimbulkan bencana (disaster) merupakan kombinasi dari beberapa variabel seperti: tingkat bahaya (hazards), kerentanan (vulnerability), dan ketahanan wilayah (resilience).

Identifikasi tipologi bahaya (alamiah, antropogenik) kerentanan fisik (kepadatan bangunan, konstruksi dan bahan bangunan), kerentanan sosial (kepadatan penduduk, struktur umur, segregasi sosial), kerentanan ekonomi (tingkat kemiskinan), kelengkapan fasilitas (gawat darurat, kesehatan, tempat evakuasi), kelengkapan utilitas (sistem peringatan dini, SOP penanganan bencana) adalah salah satu langkah dalam manajemen resiko.

Mengurangi risiko dari natural hazards diartikan sebagai mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas menanggulangi. Mitigasi bencana diartikan sebagai suatu program aksi untuk mengurangi atau menegasikan risiko jangka pendek dan panjang dari suatu bahaya bencana alam dan bencana akibat ulah manusia (antropogenik) terhadap manusia, harta benda, dan lingkungan.

Melalui kajian risiko lingkungan paling tidak dapat diketahui tipologi daerah rawan yang dikemukakan melalui: analisis bahaya, analisis tingkat kerentanan, dan analisis tingkat ketahanan; mitigasi bencana yang dapat dilakukan melalui Penataan Ruang dan Rekayasa Teknologi.

Langkah antisipatif yang perlu dilakukan mencakup identifikasi dan pemetaan sumber bencana. Penyebaran informasi tentang manajemen risiko (risk management) untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) penduduk yang bermukim di kawasan rawan bencana. Penyiapan sofware dan hardware serta pelatihan, penyuluhan dan pendidikan bagi petugas dan masyarakat secara terencana dan sistematis dalam penanggulangan bahaya.

Setelah proses identifikasi dan langkah mitigasi telah dikaji, maka perlu diformulasikan konsep penanggulangan bencana (disaster management) yang mancakup suatu proses terpadu, dinamik, dan berkelanjutan, untuk meningkatkan kualitas tahapan, terkait dengan pananganan suatu bencana yang meliputi: pencegahan, peringatan dini, kesiapsiagaan (preparedness), tanggap darurat (emergency response), evakuasi, mitigasi, rehabilitasi atau pembangunan kembali. Terminologi waspada, siaga, dan awas telah menjadi luaran dari kajian resiko yang harus dipatuhi oleh segenap masyarakat di sekitar wilayah rawan bencana.

Gunung meletus, tsunami, gempa, banjir bandang, longsor yang seakan tak berhenti mendera bangsa kita, juga mengingat Nusantara ini yang berebah pada cincin api (ring of fire) yang rawan bencana, sejatinya menjadi pemicu perlunya segera dirumuskan penjabaran lanjutan yang lebih teknis, aplikatif, dan antisipatif, dari konsep analisis risiko lingkungan, dan diterapkan secara komprehensif.

Konsep analisis risiko lingkungan ini telah diamanahkan dalam UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Mitigasi Bencana, serta UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

*) Sekretaris Eksekutif PPLH, IPB