Jakarta (ANTARA News) - Ujaran bahasa Jawa, "Duh Gusti" disampaikan oleh mereka yang disentuh oleh letusan demi letusan pencobaan dari erupsi Gunung Merapi.

Lagi-lagi, Duh Gusti...dievakuasi oleh relawan hingga ke Sikakap nyatanya belum dijamin selamat dari intaian maut gulungan tsunami Mentawai.

Dari gunung Merapi, ancaman bahaya terhunus bak sabetan pedang minta korban. Alasannya, Merapi jangan sesekali tidak dipandang sebelah mata meski aktivitas erupsi sudah menurun.

Dari Mentawai, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)mengakui bahwa bantuan bagi korban tsunami di Pesisir Mentawai menumpuk di sejumlah lokasi seperti di Pulau Sikakap. Baik Merapi maupun Mentawai, sama-sama bersekutu sebagai bencana alam.

"Banyak sekali bantuan yang tertahan di daerah Pagai. Karena aspek cuaca. Cuaca sekitar Mentawai itu mudah sekali berubah. Helikopter saja kembali lagi," kata Direktur Pengurangan Risiko Bencana BNPB, Sutopo Purwo Nugroho. Solusinya? Masyarakat diharapkan mampu menggunakan kearifan lokal untuk membaca situasi bencana seperti tsunami.

"Contoh kearifan lokal di Aceh, warga diajarkan, ketika terjadi gempa, mereka secepatnya lari ke bukit, nggak usah menunggu air naik," katanya. Kearifan lokal juga dibutuhkan mengingat keterbatasan teknologi peringatan dini tsunami yang dimiliki Indonesia.

Kalau tsunami mengusik warga Mentawai, maka erupsi menggedor warga Merapi. Keduanya bukan sebatas penghakiman atas permainan bahasa dengan merujuk kepada tata krama bahasa. Berbicara berarti berjuang dalam lalulintas permainan bahasa.

Implikasinya, bencana berarti ajakan bagi setiap manusia mencari dan menemukan jalan keluar. Logika bencana bukan sebatas eksperimen bahasa.

Mau contoh? Direktur Kesiapsiagaan Bencana BNPB, Wisnu Wijaya mengatakan, alat peringatan dini tsunami yang dipunyai Indonesia mampu memprediksi ada tidaknya tsunami setelah 4 menit lebih 46 detik terjadinya gempa. "Ini cukup bagus, Jerman saja enam menit," ucapnya. Eheem....

Lantas, jangan buru-buru memegahkan diri karena dukungan teknologi. Meminjam istilah postmodernisme, teknologi yang membawa kemajuan dan kedigdayaan manusia dapat dibaptis sebagai "narasi besar".

Nyatanya, teknologi yang diklaim cukup jempolan tersebut diakui Wisnu akan sia-sia jika tsunami datang pada 5 menit setelah gempa di Mentawai. Apakah tidak bisa ditanggulangi lantas diartikan sebagai tidak bisa dipelajari?

Ngomong pembelajaran ketika merespons bencana, ada teks mempesona dari Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono. Katanya, ancaman bahaya dari Gunung Merapi jangan diremehkan meski aktivitas erupsi sudah menurun. Aktivitas erupsi yang menurun tetap mengeluarkan awan panas dengan jangkauan yang justru lebih panjang hingga 3-4 kilometer.

Pada Rabu pagi (3/11), Merapi kembali mengeluarkan awan panas ke arah selatan menuju Kali Gendol. Selain bahaya awan panas, Merapi yang masih berstatus awas kini menyimpan banyak deposit material serta lahar dingin yang bisa meluncur sewaktu-waktu. "Saya berharap semua pihak sabar sampai Merapi ke status waspada atau siaga," ujar Surono.

Apakah letusan Merapi sudah selesai? "Kita tidak tahu pasti. Sampai detik ini, kubah Merapi belum terbentuk. Kita lihat dulu apakah penurunan aktivitas ini hanya jeda sesaat atau memang menurun seterusnya," katanya kepada harian Republika.

Ajakan menggunakan kearifan lokal untuk mengeja situasi bencana seperti tsunami Mentawai dan ketidakpastian akan situasi perkembangan Merapi berujung kepada fatsun dalam tradisi Jawa bahwa situasi kontras bukan sebatas kebetulan.

Sejatinya, situasi kontras merujuk kepada pesan gaib kehidupan (sasmitaning ngaurip). "Sasmita" bukan sekedar pengetahuan kognitif, tetapi mencakup "rasa".

Celakanya, rasa baru bisa ditimba jika manusia tidak diusik dengan kehebohan teknologi. Rasionalitas bukan segalanya ketika berhadapan dengan pesan gaib kehidupan. Berempati dan berbela rasa dengan nasib mereka yang menderita dapat memberi gizi jiwa saat merespons bencana Merapi dan bencana Mentawai.

Jangan-jangan manusia berada dalam zaman Kalatidha, atau zaman kalabendu, zaman kutukan dan hukuman, zaman sarat keraguan, cobaan dan penderitaan?

Menuruty filosof Jawa, Damardjati Supadjar, bangsa Indonesia sekarang ini tengah berada pada zaman Kalatidha. Bangsa Indonesia berada dalam situasi sarat keragu-keraguan. Karena ragu-ragu, maka segala macam hal yang dilakukan tidak pernah berhasil diselesaikan secara baik.

Untuk dapat menghindari situasi buruk ini, bangsa Indonesia harus dapat membaca dan melaflkan tanda-tanda zaman agar dapat mengelak dari Kalabendu (masa-masa datangnya bencana) yang mengikuti datangnya Kalatidha.

"Hanya saja, kita tidak mendengar sangkakala itu telah ditiup, karena kopoken (tuli) tidak menangkap isyarat-isyarat itu," kata guru besar Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta ini.

Situasi dalam Zaman Kalatidha, menurut dia, tampak jelas tertera pada Serat Kalatidha yang memiliki puncak pada bait ke tujuh yang dikenal karena istilah Zaman Edan. Ketika melakoni Zaman Edan semua dapat saja terjadi. Dan hal-hal yang semula tidak terpikirkan bisa saja muncul di atas panggung sandiwara kehidupan.

"Menyaksikan zaman gila, serba susah dalam bertindak, ikut gila tidak akan tahan, tapi kalau tidak mengikuti (gila), bagaimana akan mendapatkan bagian, kelaparan pada akhirnya. Namun telah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada," tulis Mas Ngabehi Ranggawarsita II dalam bait ke-7 Serat Kalatidha.

"Amenangi zaman edan, ewuhaya ing pambudi, melu ngedan nora tahan, yen tan melu anglakoni, boya keduman melik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling klawan waspada."

Zaman Teknologi? Zaman Edan? Zaman Kalatidha?
(A024/ART)