Jakarta (ANTARA) - "Tidak boleh diganggu dan dibuka karena habitat harimau," kata Rafik Sani menegaskan bahwa hutan di Desa Ladang Palembang, Kabupaten Lebong, Bengkulu, tidak boleh hilang.

Rafik sebagai Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Taneak Jang tentu paham betul kalau hutan seluas 20 hektare (ha) di Bukit Sarang Macan itu punya fungsi penting untuk melindungi keberadaan spesies kucing besar endemik Sumatera yang tersisa lebih kurang 600 individu saja di habitat aslinya itu.

Peraturan Desa Ladang Palembang pada 2003 menetapkan Bukit Sarang Macan sebagai kawasan terlarang atau lindung.

Keluarnya peraturan itu bentuk konkret masyarakat adat setempat untuk melestarikan habitat sekaligus melindungi keberadaan harimau sumatera yang terancam punah, kata Rafik menjawab pertanyaan ANTARA secara daring dari Bengkulu, Jumat (6/8).

"Meski itu dikata masih kurang, 20 hektare, namun keberadaan bukit itu jadi tolok ukur adanya kesepakatan masyarakat adat untuk menghormati harimau di kawasan tersebut," ujar dia.

Sejak dahulu kala, kata Rafik yang juga aktif mencari dan menyingkirkan jerat yang sengaja dipasang para pemburu, yang dapat membahayakan keberadaan satwa dilindungi itu di hutan-hutan Lebong, dari nenek moyang sudah ada aturan dan norma, bagaimana berinteraksi dengan dengan harimau sumatera.

Menurut dia, ada waktu-waktu tertentu yang berbahanya bagi manusia untuk beraktivitas lagi di luar rumah, seperti saat maghrib. Karena secara ilmiah, malam hari memang waktunya fauna bernama latin Phantera tigris sumatrae berburu.

"Betul-betul itu aturan, norma, kearifan norma di sana harus diikuti," ujar dia.

Suatu bentuk ritual seperti Kedurai, itu langkah partisipatif masyarakat adat yang hidup di tepian hutan untuk melestarikan harimau sumatera, dengan mengakui, menghormati, dan menyegani bahwa satwa liar kharismatik itu suatu ilmu kepuyangan secara spiritual di zaman dulu.

"Saya pikir 'racun' seperti ini disampaikan ke masyarakat, bahwa masyarakat adat untuk melestarikan habitat harimau sumatera yakni dengan menghormatinya sebagai suatu asal-usul," katanya.

Jejak

"Andai kata di hutan bertemu dengan 'andege' atau jejak dari harimau ini keturunan Siraja Lottung pada masa dulu, harus 'dihandang-handangi', dipagar dengan cabang-cabang kayu," kata Budayawan Tapanuli Selatan H. Chalifa Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam.

Yang demikian itu menjadi bentuk penghormatan yang sangat besar untuk harimau sumatera, terutama oleh keturunan Siraja Lottung, termasuk yang sekarang ada di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

Mereka menyebut satwa liar yang berstatus dilindungi itu sebagai Ompung, suatu gelar dalam tutur yang paling tinggi di sana.

Baca juga: AMAN sebut pengelolaan hutan oleh masyarakat adat bersifat kolektif

Cerita rakyat tentang Boru Pareme dan Siraja Lottung begitu melekat dalam kehidupan sosial masyarakat Batak Toba.

Sutan mengatakan cerita itu menggambarkan awal pergaulan atau berkawan atau bersaudaranya manusia dengan fauna bernama latin Phantera tigris sumatrae di sana.

Ada pesan moral dalam cerita itu, di mana Boru Pareme dan anaknya Siraja Lottung sebagai manusia menunjukkan rasa terima kasih pada harimau sumatera yang menjaga mereka selama di hutan. Begitu pula sebaliknya, Ompung pun melakukan hal sama.

"Dalam hal ini sudah barang tentu dengan sendirinya kita menganggap bahwa alasan untuk memuji harimau ini adalah harimau suatu hewan yang mempunyai adat dan adab," ujar Sutan yang telah menulis puluhan buku tersebut.

Hingga sekarang, manusia yang hendak masuk hutan di sana untuk mendapatkan kayu atau rotan harus cermat melihat lokasi yang didatangi, karena hutan adalah rumah dari Ompung.

Menurut Sutan, satwa yang diperkirakan tersisa sekitar 600 individu di alam liar tersebut terkadang nampak di lokasi tertentu, di tempat istirahatnya, atau tempat yang agak luas bersama anak-anaknya.

"Sehingga saat mengambil rotan jangan sampai mereka terganggu. Semua rakyat yang ada di Tapanuli Selatan, apalagi keturunan Siraja Lottung merasa hormat dan segan terhadap Ompung kita itu," ujar dia.

Masyarakat adat di Tapanuli Selatan memiliki cara tersendiri bergaul dengan harimau sumatera. Ada ilmunya untuk dapat memanggil satwa kharismatik tersebut ke sawah atau ladang yang sedang diganggu oleh binatang lain seperti babi liar.

"Karena harimau datang berkeliling di sana waktu malam," kata Sutan.

Masih ada cerita lain tentang Ompung yang akrab dalam kehidupan masyarakat Tapanuli Selatan. Andai musim durian datang, biasanya akan ada waktu jaga malam bersama masyarakat secara bergantian.

Ia mengatakan jika mereka kebetulan mendengar suara durian jatuh di satu lokasi yang sudah diketahui namun saat didatangi tidak terlihat ada raja buah tersebut, namun ada tanda dan ternyata banyak nyamuk, berarti ada harimau di tempat itu.

"Jadi kita mundur sendiri ke tempat kita jaga, ke tempat pangkal umbut durian tempat kita buat api unggun supaya kita tidak kedinginan sehingga bebaskan Ompung mengambil durian malam itu, baru esok hari kita ambil sisanya," katanya.

Jika seseorang sedang menjala di sungai saat malam hari lalu terdengar suara "retek-retek" dan melihat ada mata seperti senter, itu berarti Ompung meminta makan ikan.

"Kita lempar saja ikan. Dia tidak ganggu kita, malah dia jaga kita. Itu kearifan lokal di Tapanuli Selatan," ujar dia.

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara Hotmauli Sianturi seperti mengamini apa yang Sutan sampaikan, jangan menantang keberadaan si raja rimba ketika sudah menyadari kehadirannya.

Ada pula kebiasaan-kebiasaan masyarakat adat setempat yang mesti diikuti guna menghindari konflik dengan harimau sumatera. Jangan terlalu pagi datang ke ladang dan sebelum sore harus sudah pulang.

Baca juga: Tim BBKSDA Sumut temukan jejak harimau sumatra di Desa Bukit Mas

Itu karena biasanya harimau sumatera tidur saat siang hari dan mulai aktif saat pergantian siang dan malam, malam, hingga pergantian malam dan pagi. Karenanya, ia mengingatkan lagi agar tidak menantang

“Harimau itu, saya tidak bisa menjelaskan ilmiahnya, tapi dia punya memori dan dendam. Kalau diserang ya dia bisa dendam," ujarnya.

Disinkronkan

Sutan mengatakan menjaga hutan yang menjadi rumah bagi harimau sumatera di Tapanuli Selatan tidak bisa dilakukan oleh masyarakat setempat saja. Dahulu memang ada peraturan hukum adat mengenai hutan, ada hukum ulayat adat, tetapi itu tidak disinkronkan dengan peraturan pemerintah.

"Sehingga tiba-tiba saja ada perusahaan tambang, emas, dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dirinya tidak mengetahui apakah keberadaannya sudah melalui musyawarah dengan masyarakat di sana," ujar dia.

Sutan menegaskan sudah menjadi tanggung jawab bersama melindungi seluruh Indonesia, baik melindungi habitat harimau sumateranya maupun manusianya yang hidup di kawasan tersebut.

"Jadi kalau sebagian hukum adat tidak berlaku maka hak ulayat tidak berlaku, akhirnya saling bertentangan pula ini. Kalaulah hak ulayat untuk hutan ulayat itu tidak dipedulikan menurut adat, sedangkan Undang-Undang Agraria mengenai hutan harus mengikuti adat menurut hak ulayat, ada pasalnya, sehingga menurut saya salah di pangkal," ujar dia.

Keberadaan hutan menjadi kunci dari keberlanjutan hidup masyarakat adat dan harimau sumatera. Keduanya memiliki ikatan spiritual kuat dengan wilayahnya yang telah dihuni secara turun-temurun.

Mereka telah membentuk adat dan adab sendiri sehingga dapat hidup selaras dan harmonis, tanpa konflik.

Manakala adat dan adab itu tersingkir, keseimbangan alam pun hilang. Bukan hanya mereka yang akan menderita, tetapi seluruh flora dan fauna di Bumi terancam hilang.

Baca juga: WWF gunakan pendekatan seni lindungi harimau sumatra
Baca juga: Pendekatan budaya salah satu upaya selamatkan harimau sumatra
Baca juga: Hilmar Farid: Penting mendokumentasi pengetahuan masyarakat adat