Jakarta (ANTARA) - Salah satu konsekuensi dari adanya pandemi COVID-19 adalah banyak pemerintahan termasuk di Indonesia, yang menerapkan kebijakan ekstra ketat dalam mengawasi mobilitas atau pergerakan penduduknya.

Dengan melihat dampak dari kebijakan tersebut, tidak heran bila Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengingatkan akan potensi kekurangan pangan akibat pandemi akibat terhambatnya lalu lintas pengiriman barang antarnegara. Selain itu, kekhawatiran banyak negara terhadap pandemi membuat pemerintahan mengunci stok pangan untuk mengamankan kebutuhan konsumsi di dalam negeri.

Namun, Anggota Komisi IV DPR RI Firman Soebagyo dalam diskusi daring tentang tata kelola pangan di masa pandemi yang digelar beberapa waktu lalu mengatakan pandemi harus bisa menjadi momentum ketahanan pangan nasional di mana kebutuhan pangan di Indonesia bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri.

Menurut Firman, saat ini petani Indonesia dapat menikmati harga komoditas pangan yang lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya di mana terjadi importasi komoditas pangan dari luar negeri.

Alur importasi komoditas pangan yang dibendung dari luar negeri karena pandemi menyebabkan permintaan yang konstan terhadap produksi pangan dari petani dalam negeri. Meskipun tingkat konsumsi pangan menjadi menurun lantaran adanya penerapan kebijakan pembatasan mobilitas, namun Firman mengatakan petani bisa menikmati kenaikan harga pangan.

Dalam rangka melakukan pembenahan pangan tersebut, tentu saja harus diperhatikan mengenai sumber pangan dari suatu daerah tersebut. Indonesia sendiri memiliki program food estate. Sejumlah pihak seperti peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengatakan program food estate yang dicanangkan pemerintah dapat menjadi solusi untuk pemenuhan pangan domestik ke depan.

Apalagi sektor pertanian, termasuk food estate, terbukti dapat bertahan meski di tengah pandemi, sehingga akan menjadi dorongan besar bagi masyarakat untuk melirik dan mengembangkan sektor ini hingga ke produk hilir atau tahap industrialisasi.

Untuk itu, Eko menilai lebih baik menguatkan produksi agar semakin mandiri dan menjaga antusiasme sebagian masyarakat untuk mengembangkan pertanian, tak pupus di tengah jalan akibat solusi instan impor pangan.

Selain itu, disampaikan bahwa aksesibilitas terhadap pangan sangat penting sehingga strategi food estate dapat menjamin aksesibilitas baik di tingkat nasional maupun lokal. Pengembangan untuk membuat food estate juga diharapkan tidak hanya berfokus kepada satu komoditas seperti padi, tetapi dapat disesuaikan dengan konteks makanan pokok masing-masing daerah.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Indra Setiawan menyatakan perkembangan produktivitas tanaman penting, seperti padi dan jagung, yang cenderung stagnan dalam beberapa tahun terakhir dapat diatasi dengan memacu peningkatan produktivitas di luar Pulau Jawa. Hal tersebut karena data BPS menunjukkan produktivitas padi yang dihasilkan di Pulau Jawa lebih tinggi 23 persen dari produktivitas padi di luar Jawa.

Selain itu, rata-rata produktivitas petani padi di luar Jawa hanya mencapai 45,78 kuintal GKG per hektar, lebih rendah dari produktivitas petani padi di Pulau Jawa yang sebesar 56,42 kuintal GKG per hektar. Akibatnya, masih menurut dia, walaupun luas panen padi di luar Jawa berkontribusi pada sekitar 50 persen dari total luas panen padi nasional yang mencapai 10,68 juta hektar di 2019, kontribusi petani luar Jawa terhadap produksi padi nasional hanya sebesar 44 persen.

Ia berpendapat bahwa kesenjangan produktivitas antara Jawa dan luar Jawa cenderung konsisten selama dua dekade terakhir. Dampaknya terhadap peningkatan produksi padi nasional akan sangat signifikan kalau kesenjangan ini diatasi.

Indra menjelaskan kesenjangan produktivitas terjadi karena banyak faktor, seperti perbedaan tingkat kesuburan tanah dan cuaca yang mendukung budidaya, sumber daya manusia, kondisi infrastruktur pertanian dan penerapan teknologi budidaya. Secara umum, petani luar Jawa relatif tertinggal dari koleganya di Jawa, baik secara kapasitas maupun teknologi budidaya pertanian.

Oleh karenanya diperlukan upaya untuk mempersempit kesenjangan tersebut, misalnya melalui pendampingan, penyuluhan yang intensif serta penguatan kapasitas kelompok tani. Selain itu pemerintah juga perlu membangun infrastruktur irigasi yang memadai, mendorong mekanisasi pada proses tanam yang dimulai dari penyiapan lahan dan proses panen.

Perlu pula diperhatikan bahwa dalam kondisi seperti saat ini, masih ada provinsi yang surplus pangan dan ada pula yang defisit pangan, sehingga harus bergantung pada pasokan daerah lain.


Distribusi pangan

Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendardi mengatakan pemerintah melakukan distribusi pangan dari wilayah yang produksinya surplus ke wilayah yang mengalami defisit produksi komoditas pangan tertentu guna menjaga kestabilan harga pangan.

Berdasarkan data Kementan saat ini terdapat sekitar 67 kabupaten yang harga jual gabahnya di bawah harga pokok produksi (HPP) lantaran pasokan produksi yang surplus. strategi yang dilakukan Kementerian Pertanian yaitu dengan intervensi dengan membelinya di atas HPP lalu didistribusikan ke daerah yang defisit.

Dia mengatakan dari 11 komoditas pokok, sebanyak tujuh komoditas tidak terdistribusi dari wilayah surplus ke wilayah defisit. Agung menjelaskan Kementerian Pertanian mendistribusikan sekitar 10 persen dari total produksi suatu komoditas di daerah surplus.

Berdasarkan prognosa pangan, secara nasional dari 12 komoditas pangan pokok yang dipantau pemerintah, tujuh komoditas dalam kondisi yang cukup dan aman hingga Desember 2021. Komoditas pangan tersebut antara lain beras surplus 8 juta ton, jagung 2 juta ton, bawang merah 73 ribu ton, daging ayam 425 ribu ton, cabai besar 217 ribu ton, gula pasir 989 ribu ton, dan minyak goreng 618 ribu ton.

Tidak hanya dalam bentuk pemantauan, Kementan juga memberikan sejumlah stimulus seperti bantuan benih, alat mekanisasi pertanian, dan bantuan pupuk, serta penyaluran hasil panen petani ke e-commerce atau lokapasar daring.

Lokapasar daring yang dikembangkan oleh Kementerian Pertanian yaitu Pasar Mitra Tani agar bisa langsung dijual ke konsumen agar bisa mendapatkan harga yang lebih tinggi dibandingkan menjualnya ke pengepul.

Dari sisi konsumen, Ketua Umum Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) Zulficar Mochtar mengingatkan bahwa konsumen global saat ini semakin kritis terhadap produk pangan yang mereka santap.

Zulficar mencontohkan konsumen global dalam memakan ikan sekarang semakin banyak yang ingin mengetahui bahwa ikan yang dikonsumsi mereka tidak terkait IUU fishing, ditangkap dengan cara-cara yang baik dan tidak terkait dengan perbudakan modern.

Sedangkan, permasalahan dalam penangkapan ikan di Indonesia, ujar dia, juga mencakup sistem rantai dingin yang produksi atau hasil tangkapannya banyak di wilayah timur, tetapi lebih banyak infrastrukturnya yang memadai seperti cold storage (gudang pendingin) di wilayah barat.

Terkait dengan rantai perdagangan, Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta juga merekomendasikan untuk dilakukannya pengurangan hambatan nontarif pada kebijakan sektor perdagangan pangan, yang dinilai berpotensi mengurangi angka kemiskinan.

Ia mengemukakan bahwa hasil penelitian CIPS menunjukkan implementasi non tariff measures (NTM) atau hambtan nontarif memengaruhi harga komoditas pangan seperti beras dan daging, akibat biaya kepatuhan yang harus dikeluarkan. Apalagi, pelonggaran hambatan atas kebijakan NTM juga dinilai akan meningkatkan status gizi penduduk.

Meski semenjak krisis finansial Asia tahun 1998 banyak tarif impor telah dilonggarkan untuk berbagai barang, lanjut dia, namun tren peningkatan kebijakan proteksionisme perdagangan dalam bentuk kebijakan NTM juga terjadi.

Sedangkan kekurangan makanan bergizi ditengarai dapat menurunkan mutu pola makan dan menimbulkan risiko malnutrisi dan stunting pada anak-anak, dan ujungnya dapat mengancam potensi bonus demografi di Indonesia. Karena itu, pada masa pandemi ini juga mutlak diperhatikan bahwa pembenahan sektor pangan nasional jangan hanya mengenai distribusi pangan secara kuantitas, tetapi juga secara kualitas.

Hal ini menjadi penting agar di tengah pandemi, kebijakan pemerintah juga dapat menjadi momentum untuk pembenahan sektor pangan nusantara.

Baca juga: Peneliti ingatkan atasi ketimpangan produktivitas pangan antarwilayah
Baca juga: DPR minta Pemerintah tingkatkan ketahanan pangan antisipasi COVID-19
Baca juga: Kemenperin jaga produksi industri pestisida, dukung ketahanan pangan