Jakarta (ANTARA News) - Indonesia pernah menuai sukses yang gilang-gemilang dalam menjalankan program keluarga berencana, hingga banyak utusan berbagai negara berkunjung untuk belajar program itu.

Haryono Suyono adalah tokoh penting di balik kesuksesan program itu.

Selama hampir dua dasawarsa, Haryono Suyono menjabat Menteri Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, dua lembaga yang memiliki peranan sentral dalam pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia.

Namun gempita program KB meredup dan pertumbuhan penduduk Indonesia selama sepuluh tahun terakhir meningkat kembali.

saat dijumpai ANTARA di Yogyakarta, Haryono menyatakan prihatin atas hilangnya kepeloporan Indonesia dalam program KB, justru di saat negara-negara lain seperti China, India, Bangladesh, dan negara-negara Afrika, tengah giat melaksanakan program tersebut.

Menurut hasil sementara sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia lebih 237 juta jiwa. Jumlah itu di atas perkiraan semula, yang 232 juta jiwa. Jadi ada lonjakan sekitar 5 juta jiwa dari seharusnya.

Wakil Presiden Boediono secara jujur mengakui bahwa keadaan pertumbuhan penduduk Indonesia dewasa ini tampak makin mengkhawatirkan.

Saat peringatan Bulan Bhakti Gotong-Royong Masyarakat yang dipadukan dengan Hari Keluarga Nasional (Harganas), Wapres mengajak para pejabat pemerintah menggalang kerjasama, bahu-membahu mengembalikan sukses KB yang pernah diraih.

Menurut Wapres, kalau Indonesia tidak bisa mengendalikan pertumbuhan penduduk dikhawatirkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai, tidak ada manfaatnya, karena "tertelan" oleh ledakan penduduk.

Indonesia tengah tumbuh menjadi negara demokratis dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, tapi pertumbuhan itu bisa tersendat, kata dia, lantaran masalah sosial dan kemiskinan yang diakibatkan oleh beban kependudukan yang berat.

Haryono berpendapat, saat ini adalah momentum terbaik untuk mengembangkan kembali program KB.

"Saat ini merupakan kesempatan yang baik untuk melihat kembali apakah komitmen kita dalam menggalakkan program KB masih sebesar dahulu. Jika tidak, itu harus dihidupkan lagi. Bukan sekedar dihidupkan lagi, tapi harus digerakan lagi," ujarnya.

Menurut Haryono, saat reformasi berlangsung program-program yang berbau "dulu" ditinggalkan. Program KB, yang sangat sukses dan terbukti telah mendapatkan berbagai penghargaan dari lembaga-lembaga dunia, tak lagi menjadi program prioritas. "Padahal tidak selalu program masa lalu itu buruk," katanya.

"Saat kita mendapati jumlah penduduk tiba-tiba membengkak, dan masalah-masalah sosial dan kependudukan mulai timbul, kita baru sadar bahwa program KB itu memang diperlukan," ujarnya.

Dan sayangnya, kata dia, karena selama ini program KB agak ditelantarkan, Indonesia harus meniti dari awal untuk mendesain kembali instrumen yang tepat untuk kondisi saat ini.

Program KB kini tengah digenjot kembali, dengan dana yang menurut Haryono Suyono, tiga kali lipat lebih tinggi dibanding masa lalu.

Namun menurut pria yang pernah menjadi satu dari lima puluh tokoh dunia dalam bidang kependudukan versi Majalah Time itu, sukses program KB tak cukup hanya dengan dana yang besar.

Menurut Haryono, salah satu instrumen program KB yang dahulu ada dan sekarang tidak ada adalah soal komitmen politik yang dibarengi komitmen operasional.

Salah satu keberhasilan KB pada masa lalu, kata Haryono, karena komitmen politik dari presiden diikuti dengan komitmen operasional di lembaga pemerintahan di tingkat bawah.

Sekarang, menurut dia, komitmen seperti itu tidak ada. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah kerap kali timbul ketidaksinambungan.

"Presidennya pidato berkobar-kobar, tapi daerah ada yang merasa bahwa program KB tidak penting. Mereka beralasan penduduknya masih sedikit," ujarnya.

Padahal kata pria kelahiran Pucang Sewu, Pacitan, Jawa Timur, 6 Mei 1938 itu, esensi pelaksanaan KB, bukan masalah sedikit atau banyaknya penduduk, tapi kepadatan di setiap keluarga.

"Apakah tiap keluarga itu memiliki banyak anak atau tidak. Jika keluarga banyak tanggungannya, niscaya beban keluarga itu semakin berat," ujarnya.

Singapura dan Swis adalah negara dengan penduduk sedikit, tetapi penduduknya ber-KB, katanya.

"Omdo"

Haryono, yang saat ini masih menjabat Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS), menyatakan, sukses program KB membutuhkan dorongan moral dan ketauladanan dari para pemimpin.

"Dorongan moralnya ya harus kerja `tenanan` (sungguhan). Jangan `omdo`, omong doang," katanya.

Ketauladanan juga sangat penting, karena menurutnya, banyak pejabat yang justru "show of force" jika beranak banyak.

"Memang saat ini orang bebas memilih, mau ber-KB atau tidak. Tapi biar pun begitu, kalau jadi pejabat jangan lantas menjadi pengajur beranak banyak. Itu tarasa kurang pas. Kalau `ngomong` harusnya tetap satu anak boleh, dua juga lebih bagus. Jangan lalu lima anak boleh 10 juga boleh," katanya.

Haryono yakin, jika semua serius Indonesia bisa meraih kembali keberhasilan mengendalikan penduduk, karena dari sisi anggaran, pemerintahan reformasi mengalokasikan dana lebih tinggi di banding dulu.

"Tetapi harus dipastikan pemakaian anggarannya tepat. Jika tepat, ini akan sangat bagus, karena sebenarnya sekarang banyak orang yang lebih sadar ber-KB," katanya.

Banyak dari mereka yang sudah secara sukarela membeli kontrasepsi sendiri.

"Untuk orang-orang yang seperti ini, pemerintah tak perlu membelikan. Biar mereka beli sendiri, tapi permudah aksesnya," ujarnya.

Keluarga miskin juga jangan dipersulit untuk mendapatkan kontrasepsi. "Mereka enggan bila harus mengambil alat kontrasepsi gratis, tapi menunggunya lima jam, misalnya. Belum tentu yang gratis itu menguntungkan mereka," tambahnya.

Menurut Haryono, lebih baik jika pemerintah menyokong keluarga miskin itu dengan penguatan ekonomi mereka, sehingga mereka bisa bekerja dan membeli kontrasepsi sendiri.(*)

T010/s018