Padang (ANTARA News) - Setiap daerah memiliki ciri khas berbeda dalam menyebarluaskan informasi kejadian luar biasa sebagai tanda peringatan bagi warga akan bahaya yang sedang mengintai keselamatan mereka.

Salah satu tanda bahaya atau peringatan bagi warga itu adalah dengan menggunakan kentongan yang dipukul terus-menerus agar warga segera menyelamatkan diri ke tempat-tempat yang lebih aman.

Masyarakat di perkampungan yang berhadapan dengan laut Samudera Hindia, di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, masih menggunakan warisan nenek moyang berupa kentongan untuk mengingatkan warganya dari bahaya yang mengancam.

Penggunaan kentongan sebagai tanda bahaya itu ternyata masih cukup efektif untuk menyelamatkan sejumlah warga kampung yang masih peduli terhadap tanda itu, dari hantaman gelombang tsunami yang melanda wilayah itu.

Gulungan gelombang tsunami terjadi akibat gempa berkekuatan 7,2 Skala Richter (SR) di lokasi gempa berada pada 3,61 Lintang Selatan (SL)-99,93 Bujur Timur (BT).

Pusat gempa berada pada titik koordinat 78 km barat daya Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumbar pada Senin (25/10) sekitar pukul 21.40 WIB, memicu gelombang pasang tsunami yang konon mencapai ketinggian 12 meter.

Awal pekan terakhir Oktober 2010, bumi Sekkerai (sebutan daerah Mentawai,red) terguncang dahsyat akibat bertemunya lempeng Erusia-Austria.

Kepanikan warga tak terelekkan, namun sebagian warga yang perkampungannya berada di dekat titik gempa tektonik itu, bisa selamat dari gulungan tsunami yang terjadi hitungan menit setelah guncangan gempa.

Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno menyebutkan dan menceritakan ketika dirinya selama dua hari menelusuri dusun/perkampungan yang terkena dampak bencana tsunami di Kepulauan Mentawai.

"Ada satu perkampungan di Kecamatan Pagai Selatan, rumah-rumah rata dengan tanah, tetapi warganya selamat dari hantaman tsunami," katanya.

Menurut masyarakat di sana, kata gubernur, mereka bisa selamat sekampung dari hantaman gelombang tsunami karena saat terjadi gucangan gempa dibunyikan kentongan oleh kepala sukunya langsung lari ke arah perbukitan.

Ternyata bunyi kentongan itu --sebagai pertanda untuk lari--, karena kekhawatiran akan terjadinya gelombang air laut naik, semua isi kampung menyelamatkan diri ke perbukitan.

Menurut gubernur, kearifan lokal warga itu itulah telah menyelamatkan masyarakat satu perkampungan di arah bagian selatan Mentawai dari gulungan gelombang tsunami, meski pun perkampungannya rata dengan tanah.

Apa yang terjadi, di satu perkampungan yang berada di dekat pusat gempa dan gelombang tsunami di Mentawai itu, tentu suatu pembelajaran yang berarti.

Jadi, masyarakat kalau membudayakan kearifan lokal di daerahnya, bisa sebagai juru selamat dari bencana yang menimbulkan korban massal.

Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Ade Edward mengatakan, dusun-dusun yang menghadap ke laut lepas di Mentawai, sedikit yang korban jiwa akibat hantaman gelombang tsunami.

Seperti di Muntei dan Bulasat perkampungan habis dan rata dengan tanah, tapi korban jiwa sedikit sekali, bahkan ada yang sekampungnya selamat semua.

"Tampaknya masyarakat yang tinggal di bagian pantai barat Sumbar itu, masih tetap mempercayai tanda-tanda alam. Mereka juga fanatik terhadap kearifan lokal yang dianutnya sehingga korban sedikit saat gelombang tsunami menghapus darat," katanya.

Malahan korban yang banyak tewas akibat gulungan gelombang tsunami itu, di dusun-dusun yang berada di Kecamatan Pagai Utama, agak jauh dari pusat gempa.

Data sementara pada Pusat Pengendali Operasi (Pusdalop) Penanggulangan Bencana Sumbar, jumlah korban jiwa meninggal dunia yang sudah ditemukan mayatnya tercatat 449 orang, masih diduga hilang tercatat 96 orang.

Sedangkan luka berat sebanyak 270 dan luka ringan 142 orang, dan warga yang mengungsi 14.983 jiwa tersebar di beberapa titik.

Pencarian terhadap korban gempa dan tsunami di tiga kecamatan di Kepulauan Mentawai, memasuki hari ke enam masa tanggap darurat masih tetap dilanjutkan.


Bersabung Nyawa

Mentawai merupakan satu gugusan kepulauan yang membujur dari utara ke selatan sepanjang pantai barat Sumbar, mulai dari Air Bangis Kabupaten Pasaman hingga mendekati wilayah Bengkulu.

Kepulauan Mentawai merupakan satu dari 19 kabupaten dan kota di wilayah Sumbar, berada di arah pantai barat. Daerah berpenduduk sekitar 76.421 jiwa, sudah menjadi sasaran dan dikenal wisatawan asing.

Jarak Kota Padang dengan Kepulauan Mentawai sekitar 125 mil laut, saat situasi normal bisa menghabiskan waktu dengan kapal penumpang 10-12 jam.

Sejak awal pekan ini, Mentawai semakin menjadi pusat perhatian banyak orang di Indonesia dan manca negara. Betapa tidak bencana yang pernah terjadi menghantam wilayah pesisir pantai Aceh 2004 lalu, kini menerpa wilayah yang tempat idola bagi wisatawan manca negara itu.

Keprihatinan banyak pihak itu, diwujudkan dengan berbondong untuk datang ke Mentawai, tentunya dengan semangat kemanusian --tolong menolong-- antarsesama anak bangsa.

Niat tulus dan ikhlas para relawan itu, tidak berjalan mulus karena medan titik-titik yang dihantam gelombang tsunami hanya satu-satunya melalui jalur laut.

Relawan kemanusiaan berlayar dari Pelabuhan Padang, dihadang gelombang laut, bahkan dalam prakiraan BMKG beberapa hari terakhir terjadi gelombang di atas batas normal.

Gelombang perairan pesisir pantai Sumbar, ketinggiannya capai tiga meter membuat sejumlah kapal-kapal pengangkut relawan dan bantuan yang terombang ambing.

Bahkan, nasib naas telah menimpa sejumlah relawan dari PLN Sumbar yang kapalnya terdampar, dan ada yang sempat terbalik karena hantaman gelombang saat pendistribusian bantuan di perairan Mentawai.

Namun, sebanyak 15 orang relawan PLN selamat dari maut karena cepat dikerahkan bantuan TIM SAR untuk memberikan pertolongan.

Pejuang kemanusiaan untuk mendistribusikan penuh tantangan ke lokasi-lokasi yang terkena gulungan gelombang tsunami pada Senin (25/10) malam itu.

Akan tetapi tantangan yang dihadapi pejuang kemanusian itu, tak mengurangi dan menyurutkan semangat relawan untuk datang ke Mentawai, buktinya sampai sekarang sudah tercatat 1.499 relwan sampai di bumi Sekkerei itu.

Tim Baznas yang bertolak dari Pelabuhan Muaro Padang, Minggu sekitar pukul 06.00 WIB mengalami kendala dalam perlayaran karena dihadang gelombang, sehingga harus bertahan di Pulau Marak --lima jam perjalanan dari pantai Padang--.

"Kami harus bertahan di Pulau Marak, menjelang cuaca dan gelombang mulai bersahabat, karena tak mungkin untuk dilewati," kata Syaiful Anwar satu dari tim Baznas ketika dikonfirmasi.

Namun, perjalanan akan tetap dilanjutkan untuk mendistribusikan bantuan yang sudah diangkut dengan dua kapal nelayan --kapasitas isinya 13 ton-- ke Mentawai.

Relawan kemanusiaan yang berangkat kebanyakan berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam dan luar Sumbar, termasuk anggota TNI, Polri, PMI, SAR serta lembaga non pemerintah lainnya. (SA/K004)