Mentawai (ANTARA News) - Keceriaan anak-anak Bumi Sikkerei sejak sepekan terakhir ini nyaris tak terlihat lagi, diganti wajah-wajah murung berselimutkan sedih dan ngeri.

Sejak Selasa lalu, anak-anak periang yang sebelum ini berteman dekat dengan ombak tepi pantai itu terus bermurung durja dan tidak lagi berani mendekati bibir laut.

Adalah gempa tektonik berkekuatan 7,2 Skala Richter (SR) Senin malam sekitar pukul 21.40 WIB yang disusul gelombang tsunami yang dahsyat 15 menit kemudian, yang membuat hal itu semua terjadi.

Ombak indah Samudera Hindia yang menjadi sahabat mereka selama ini berubah menjadi gelombang mengerikan yang menghempaskan apapun di atasnya dan menyapu daratan di mana anak-anak itu tinggal.

Kampung pesisir pantai menghadap Samudera Hindia di mana anak-anak itu hidup disapu gulungan ombak setinggi 12 meter. Banyak kampung yang rata dengan tanah oleh gelombang laut mengerikan itu.

"Anak-anak kami kini sangat trauma dan takut sekali untuk melihat ke laut, karena mengingat peristiwa yang terjadi pada Senin (25/10) malam itu," kata Arnalia, warga Sikakap, Jumat.

Gempa disusul tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai dan sejumlah wilayah Sumatera Barat lainnya Senin malam itu (25/10) telah menelan korban jiwa hingga 413 orang.

Hingga Jumat malam, 303 orang dinyatakan hilang, luka berat 270 orang, sementara luka ringan 142 orang. Sedikitnya enam dusun rata dengan tanah, sedangkan 21 dusun lainnya mengalami kerusakan 50-60 persen.

"Anak-anak di pengungsian terlihat trauma berat, bahkan sewaktu-waktu menjerik-jerit tanpa ada tahu penyebabnya," kata pegawai Kantor Camat Sikakap itu.

Tidak saja anak-anak di pengungsian dekat perkampungannya yang menghadapi kondisi ini, tetapi juga korban gempa dan tsunami yang sudah dievakuasi ke posko kesehatan Sikakap.

Korban luka-luka sudah diungsikan ke puskesmas dan gereja yang ada di Sikakap yang menjadi posko utama tanggap darurat bencana gempa dan tsunami Mentawai.

Banyak dari mereka yang mengalami patah kaki, tangan dan terkena material kayu-kayu saat bencana terjadi.

Trauma, kata perempuan tiga anak itu, tak hanya dialami anak-anak, tetapi juga korban dewasa dan ibu-ibu yang sempat pingsan.

Ibu-ibu berteriak histeris dan bahkan pingsan karena tak kuasa ditinggal anak dan suaminya yang meninggal dunia ditelan atau diterjang gelombang tsunami.

Bukan saja anak-anak korban hantaman tsunami, trauma juga dialami anak-anak yang hanya merasakan guncangan gempa.

Arnelia menuturkan, sebelum gempa dan tsunami melanda wilayahnya, Arnelia dan ibu-ibu lainnya sedang mengikuti acara latihan di sebuah lapang. Dia mengaku tidak menyadari ada gempa, begitu juga ibu-ibu lainnya.

Namun, karena melihat orang berduyun-duyun berlari menuju perbukitan kerena takut dan ngeri, Arnelia pun seketika mengikutinya, setelah terlebih dahulu tergopoh-gopoh mencari tiga orang anak dan suaminya.

"Kami setelah tahu gempa, hanya berselang beberapa menit, langsung melarikan diri ke perbukitan bersama anggota keluarga. Kebetulan tempat latihan tak jauh dari rumah," kata petugas Posko Tanggap Darurat di Kecamatan Sikakap, Mentawai, itu.

"Trauma healing"

Tragedi yang menelan ratusan korban jiwa itu jelas menimbulkan luka dan trauma mendalam, terutama anak-anak. Ombak setinggi 12 meter tidak hanya membuat rumah mereka rata dengan tanah, tetapi juga menorehkan luka psikologis yang dalam kepada anak. Mereka kini jelas membutuhan terapi atau trauma healing.

Tak hanya mereka, korban dewasa yang selamat juga membutuhkan itu untuk membunuh ketakutan itu, selain tentunya obat-obatan dan perawatan lainnya.

Dahnil, seorang psikolog, mengatakan bencana tsunami tersebut, selain meminta korban jiwa, menghancurkan ratusan rumah dan infrastruktur, juga meninggalkan trauma luar biasa, terutama pada perempuan dan anak-anak.

Oleh karena itu trauma healing sangat dibutuhkan untuk perlahan memulihkan ketakutan yang dialami korban. Memang tidak bisa cepat, tapi setidaknya mengurangi takut dan depresi.

Dahnil mengatakan, trauma healing hendaknya difokuskan pada perempuan dan anak-anak yang rentan depresi.

Jika trauma korban tsunami ini tidak tertangani baik maka biasanya menimbulkan gejala meliputi aspek fisik seperti suhu badan meninggi, menggigil, badan terasa lesu, mual-mual. Lalu, pusing, tidak mampu menangani masalah, sesak napas, dan akhirnya panik.

Trauma juga mempengaruhi emosi korban, seperti hilangnya gairah hidup, takut, dan menjadi rendah diri.

Bentuk penanganan trauma untuk korban tsunami Mentawai ini, kata Dahnil, akan lebih mengedepankan aspek hiburan dan permainan sehingga rasa cemas dan trauma itu perlahan hilang.

Dengan demikian, trauma healing dapat mengurangi dampak pada mental korban dan mengembalikan rasa percaya diri serta semangat dalam menatap masa depan.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI daerah pemilihan Sumatera Barat, Ema Yohanna, juga mengingatkan perlunya pemulihan trauma korban gempa dan tsunami Mentawai ini, khususnya anak-anak.

Upaya ini harus segera dilakukan agar kondisi kejiwaan mereka segera normal lagi.

"Anak-anak Mentawai harus kembali bersekolah secepatnya minimal di sekolah darurat sebagai langkah untuk memulihkan kondisi mental mereka," kata Erna. (*)

ANT/AR09