Dirut BRI: Tak semua lembaga pembiayaan berani ke sektor ultra mikro
5 Agustus 2021 13:31 WIB
Salah satu kegiatan warga yang menjadi AgenBRILink atau agen laku pandai dalam memberikan layanan jasa keuangan (ANTARA/HO-Humas BRI)
Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan tidak semua lembaga pembiayaan berani masuk ke usaha ultra mikro karena ada masalah di dalam sektor tersebut.
“Untuk melayani usaha-usaha yang kecil itu dibutuhkan jaringan yang luas, tenaga kerja yang banyak, maka pasti operational cost-nya tinggi. Juga akan dihadapkan oleh operational risk yang tinggi juga karena banyak yang terlibat langsung di lapangan secara manual,” ujar Sunarso dalam webinar, Jakarta, Kamis.
Dengan digitalisasi, menurut dia, akan bisa menurunkan biaya operasional dan risiko operasional karena mengurangi kesalahan dari proses yang sifatnya manual.
Berdasarkan data dari BRI di tahun 2018, dikatakan masih terdapat 45 juta ultra mikro yang membutuhkan pendanaan tambahan. Sekitar 15 juta ultra mikro telah memperoleh layanan lembaga keuangan formal seperti bank dan semacamnya.
Baca juga: Ekonom: Rights issue BRI dorong UMKM naik kelas lewat BUMN ultra mikro
Sementara itu, 5 juta ultra mikro masih mengandalkan rentenir dan 7 juta ultra mikro lainnya pinjam ke keluarga. “Masih ada 18 juta yang tak tahu harus pinjam ke mana,” ujar dia.
Atas keadaan tersebut, pihaknya memfokuskan agar 18 juta ultra mikro dapat memperoleh akses pendanaan. Dengan itu ekosistem ultra mikro diperlukan, lanjut dia, tapi semangatnya untuk mengefisienkan.
Mengenai masalah praktek rentenir, dia mewajarkan jika mereka harus mengenakan bunga tinggi karena biaya operasionalnya juga tinggi. Namun, Sunarso mengharapkan agar rentenir agar dapat dilibatkan dalam ekosistem ultra mikro
“Saya kira mereka bisa menjadi agen-agen kita yang bisa bekerja dengan lebih efisien dan tetap bisa hidup,” terang Dirut BRI.
Baca juga: MPR dorong pemerintah bantu usaha ultra mikro sentuh layanan keuangan
Sebelumnya, Sunarso menyampaikan tiga fase sinergi untuk menciptakan perkembangan tahapan perjalanan yang terintegrasi bagi usaha segmen ultra mikro.
“Kita akan membuat ekosistem dari tiga segitiga (antara) BRI sebagai induk, ada Pegadaian, (dan) ada PNM (Permodalan Nasional Madani),” ucap dia.
Fase pertama, adalah empower yang bertujuan melakukan pemberdayaan usaha kelompok masyarakat prasejahtera agar dapat menjadi wirausaha yang mandiri. Bagian ini akan didominasi oleh PNM yang akan membantu melalui group lending dan melalui pendampingan.
Kemudian, fase kedua ialah integrate yang berarti kebutuhan pendanaan tambahan dapat dilayani oleh BRI atau Kredit Usaha Rakyat (KUR) Mikro untuk produk gadai.
Terakhir, yaitu fase upgrade, dalam arti usaha ultra mikro agar naik kelas ke segmen makro dan dilayani oleh BRI melalui produk kredit umum pedesaan (Kupedes).
Baca juga: Pengamat: Holding ultra mikro dorong percepatan digitalisasi UMKM
“Untuk melayani usaha-usaha yang kecil itu dibutuhkan jaringan yang luas, tenaga kerja yang banyak, maka pasti operational cost-nya tinggi. Juga akan dihadapkan oleh operational risk yang tinggi juga karena banyak yang terlibat langsung di lapangan secara manual,” ujar Sunarso dalam webinar, Jakarta, Kamis.
Dengan digitalisasi, menurut dia, akan bisa menurunkan biaya operasional dan risiko operasional karena mengurangi kesalahan dari proses yang sifatnya manual.
Berdasarkan data dari BRI di tahun 2018, dikatakan masih terdapat 45 juta ultra mikro yang membutuhkan pendanaan tambahan. Sekitar 15 juta ultra mikro telah memperoleh layanan lembaga keuangan formal seperti bank dan semacamnya.
Baca juga: Ekonom: Rights issue BRI dorong UMKM naik kelas lewat BUMN ultra mikro
Sementara itu, 5 juta ultra mikro masih mengandalkan rentenir dan 7 juta ultra mikro lainnya pinjam ke keluarga. “Masih ada 18 juta yang tak tahu harus pinjam ke mana,” ujar dia.
Atas keadaan tersebut, pihaknya memfokuskan agar 18 juta ultra mikro dapat memperoleh akses pendanaan. Dengan itu ekosistem ultra mikro diperlukan, lanjut dia, tapi semangatnya untuk mengefisienkan.
Mengenai masalah praktek rentenir, dia mewajarkan jika mereka harus mengenakan bunga tinggi karena biaya operasionalnya juga tinggi. Namun, Sunarso mengharapkan agar rentenir agar dapat dilibatkan dalam ekosistem ultra mikro
“Saya kira mereka bisa menjadi agen-agen kita yang bisa bekerja dengan lebih efisien dan tetap bisa hidup,” terang Dirut BRI.
Baca juga: MPR dorong pemerintah bantu usaha ultra mikro sentuh layanan keuangan
Sebelumnya, Sunarso menyampaikan tiga fase sinergi untuk menciptakan perkembangan tahapan perjalanan yang terintegrasi bagi usaha segmen ultra mikro.
“Kita akan membuat ekosistem dari tiga segitiga (antara) BRI sebagai induk, ada Pegadaian, (dan) ada PNM (Permodalan Nasional Madani),” ucap dia.
Fase pertama, adalah empower yang bertujuan melakukan pemberdayaan usaha kelompok masyarakat prasejahtera agar dapat menjadi wirausaha yang mandiri. Bagian ini akan didominasi oleh PNM yang akan membantu melalui group lending dan melalui pendampingan.
Kemudian, fase kedua ialah integrate yang berarti kebutuhan pendanaan tambahan dapat dilayani oleh BRI atau Kredit Usaha Rakyat (KUR) Mikro untuk produk gadai.
Terakhir, yaitu fase upgrade, dalam arti usaha ultra mikro agar naik kelas ke segmen makro dan dilayani oleh BRI melalui produk kredit umum pedesaan (Kupedes).
Baca juga: Pengamat: Holding ultra mikro dorong percepatan digitalisasi UMKM
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2021
Tags: