Guru Besar UGM paparkan permasalahan UU Cipta Kerja
5 Agustus 2021 13:19 WIB
Tangkapan layar ahli sekaligus Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Zainal Arifin Mochtar memberikan keterangan ahli di hadapan majelis hakim Mahkamah Konstitusisecara virtual. ANTARA/Muhammad Zulfikar
Jakarta (ANTARA) - Ahli sekaligus Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Zainal Arifin Mochtar memaparkan sejumlah permasalahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja saat memberikan keterangan ahli di Mahkamah Konsitusi (MK).
"Pertama, mengenai konsep konstitusional berkaitan dengan pembentukan undang-undang yang saya pahami," kata Prof. Zainal Arifin Mochtar dalam perkara nomor 91/PUU-XVIII/2020 uji formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD NRI 1945 yang digelar MK secara virtual di Jakarta, Kamis.
Yang kedua, terkait apa saja bentuk pelanggaran bagian dari pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan terakhir implikasi yang membingungkan dari UU tersebut jika dibiarkan berkelanjutan.
Terkait dengan konstitusional pembentukan UU, Zainal menyakini pembentukan sebuah UU tidak hanya menyangkut persoalan formal yakni terpenuhinya partisipasi, aspirasi, proses, dan program legislasi nasional.
Menurut dia, bagian dari konstitusional pembentukan UU mempunyai moralitas konstitusional, yaitu penghormatan terhadap kedaulatan rakyat.
"Bayangan saya ada prinsip konstitusional yang tidak sekadar formil, tetapi juga materi," ujar Guru Besar Hukum Tata Negara UGM tersebut.
Sejatinya, lanjut dia, tidak bisa hanya melihat sekadar bagaimana sebuah UU dibentuk dan formalitasnya dipenuhi, tetapi substansi dasar yakni keinginan publik juga harus sampai atau tercapai.
Terkait dengan pelanggaran dalam pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020, Zainal menyakini ada pelanggaran aturan main UU yang menuai pro dan kontra tersebut.
Ia mengatakan bahwa usulan tentang UU Cipta Kerja sudah ada jauh sebelumnya termasuk metode omnibus law yang juga sudah dibahas sejak lama. Namun, yang mengherankan ketika DPR mengubah UU Nomor 12 Tahun 2011 pada bulan Oktober 2019, tetapi metode omnibus law tidak dimasukkan.
Padahal, ketika terjadi perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 menjadi UU Nomor 15 Tahun 2019, ide, usulan, dan konsep omnibus law sudah ada.
Menurut dia, mengherankan bagaimana mungkin ada perubahan tata cara atau ruang permainan mengubah legislasi tetapi kebutuhan memasukkan perubahan omnibus law tidak dilakukan.
"Ini lahir barangkali karena tergesa-gesa. Bisa jadi lahir upaya untuk menyamarkan supaya tidak banyak protes," katanya.
Baca juga: Rizal Mallarangeng: UU Ciptaker adalah reformasi kelembagaan terbesar
Baca juga: Anggota DPD dorong Bali jemput bola soal penyesuaian UU Cipta Kerja
"Pertama, mengenai konsep konstitusional berkaitan dengan pembentukan undang-undang yang saya pahami," kata Prof. Zainal Arifin Mochtar dalam perkara nomor 91/PUU-XVIII/2020 uji formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD NRI 1945 yang digelar MK secara virtual di Jakarta, Kamis.
Yang kedua, terkait apa saja bentuk pelanggaran bagian dari pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan terakhir implikasi yang membingungkan dari UU tersebut jika dibiarkan berkelanjutan.
Terkait dengan konstitusional pembentukan UU, Zainal menyakini pembentukan sebuah UU tidak hanya menyangkut persoalan formal yakni terpenuhinya partisipasi, aspirasi, proses, dan program legislasi nasional.
Menurut dia, bagian dari konstitusional pembentukan UU mempunyai moralitas konstitusional, yaitu penghormatan terhadap kedaulatan rakyat.
"Bayangan saya ada prinsip konstitusional yang tidak sekadar formil, tetapi juga materi," ujar Guru Besar Hukum Tata Negara UGM tersebut.
Sejatinya, lanjut dia, tidak bisa hanya melihat sekadar bagaimana sebuah UU dibentuk dan formalitasnya dipenuhi, tetapi substansi dasar yakni keinginan publik juga harus sampai atau tercapai.
Terkait dengan pelanggaran dalam pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020, Zainal menyakini ada pelanggaran aturan main UU yang menuai pro dan kontra tersebut.
Ia mengatakan bahwa usulan tentang UU Cipta Kerja sudah ada jauh sebelumnya termasuk metode omnibus law yang juga sudah dibahas sejak lama. Namun, yang mengherankan ketika DPR mengubah UU Nomor 12 Tahun 2011 pada bulan Oktober 2019, tetapi metode omnibus law tidak dimasukkan.
Padahal, ketika terjadi perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 menjadi UU Nomor 15 Tahun 2019, ide, usulan, dan konsep omnibus law sudah ada.
Menurut dia, mengherankan bagaimana mungkin ada perubahan tata cara atau ruang permainan mengubah legislasi tetapi kebutuhan memasukkan perubahan omnibus law tidak dilakukan.
"Ini lahir barangkali karena tergesa-gesa. Bisa jadi lahir upaya untuk menyamarkan supaya tidak banyak protes," katanya.
Baca juga: Rizal Mallarangeng: UU Ciptaker adalah reformasi kelembagaan terbesar
Baca juga: Anggota DPD dorong Bali jemput bola soal penyesuaian UU Cipta Kerja
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021
Tags: