Bambang Brodjonegoro: Ekonomi Indonesia harus berdasar pada inovasi
4 Agustus 2021 15:02 WIB
Tangkapan layar Mantan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro dalam webinar CSIS di Jakarta, Rabu (4/8/2021). ANTARA/Youtube CSIS Indonesia/pri.
Jakarta (ANTARA) - Mantan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia mesti mengubah dasar perekonomiannya dari sumber daya alam (SDA) menjadi berdasar pada inovasi.
"Saya melihat keberadaan natural resources (SDA) kita ini yang menggoda banyak pihak, baik investor dalam negeri maupun luar, dan juga pemerintah untuk memanfaatkan dalam jangka pendek. Itu membuat rasio manufaktur terhadap GDP (pertumbuhan ekonomi) itu turun terus dari mendekati 30 persen sampai 19 persen," kata Bambang dalam webinar CSIS di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan masyarakat tidak bisa fokus mengembangkan sektor manufaktur karena tergoda oleh sumber daya alam yang melimpah. Karena itu, keberadaan SDA bisa jadi kutukan dan alih-alih berkah bagi Indonesia.
"Saya juga amaze melihat daftar bahwa kita termasuk 10 atau 5 produsen terbesar di berbagai komoditas tambang maupun komoditas pertanian, jadi Indonesia tanahnya subur memang bukan hanya cerita. Masalahnya, kita terlalu terbuai dengan kekayaan alam, lupa melakukan sesuatu yaitu inovasi," imbuhnya.
Menurutnya, Indonesia perlu belajar dari Jepang, China, dan Korea Selatan di Asia dan Chili di Amerika Selatan yang berhasil keluar dari perangkap pendapatan menengah (middle income trap).
Ia mengatakan, kemungkinan akan berat bagi Indonesia bersaing di sektor otomotif dan elektronik dengan negara-negara lain. Namun demikian, menurut Bambang, Indonesia memiliki kualitas manufaktur yang mampu menampung relokasi pabrik di kedua sektor tersebut dari China dan Korea Selatan.
Untuk itu, Indonesia perlu mendorong inovasi dan riset agar tidak sekadar menjual SDA bernilai tambah rendah. Setiap komoditas, baik pertanian maupun pertambangan, menurut Bambang, perlu ditingkatkan nilai tambahnya sebelum dijual.
"Misal Indonesia terkenal sebagai eksportir nikel terbesar, kita jangan bangga dengan itu terus menerus. Apa seharusnya kebanggaan itu? Kalau, (kita) jadi salah satu leading produser baterai kendaraan listrik," ucapnya.
Baca juga: Bappenas: Indonesia bisa keluar dari 'middle income trap' pada 2036
Baca juga: OJK: Pertumbuhan ekonomi 7 persen di kuartal II dapat tercapai
Baca juga: Sri Mulyani ungkap empat kunci RI keluar dari jebakan kelas menengah
"Saya melihat keberadaan natural resources (SDA) kita ini yang menggoda banyak pihak, baik investor dalam negeri maupun luar, dan juga pemerintah untuk memanfaatkan dalam jangka pendek. Itu membuat rasio manufaktur terhadap GDP (pertumbuhan ekonomi) itu turun terus dari mendekati 30 persen sampai 19 persen," kata Bambang dalam webinar CSIS di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan masyarakat tidak bisa fokus mengembangkan sektor manufaktur karena tergoda oleh sumber daya alam yang melimpah. Karena itu, keberadaan SDA bisa jadi kutukan dan alih-alih berkah bagi Indonesia.
"Saya juga amaze melihat daftar bahwa kita termasuk 10 atau 5 produsen terbesar di berbagai komoditas tambang maupun komoditas pertanian, jadi Indonesia tanahnya subur memang bukan hanya cerita. Masalahnya, kita terlalu terbuai dengan kekayaan alam, lupa melakukan sesuatu yaitu inovasi," imbuhnya.
Menurutnya, Indonesia perlu belajar dari Jepang, China, dan Korea Selatan di Asia dan Chili di Amerika Selatan yang berhasil keluar dari perangkap pendapatan menengah (middle income trap).
Ia mengatakan, kemungkinan akan berat bagi Indonesia bersaing di sektor otomotif dan elektronik dengan negara-negara lain. Namun demikian, menurut Bambang, Indonesia memiliki kualitas manufaktur yang mampu menampung relokasi pabrik di kedua sektor tersebut dari China dan Korea Selatan.
Untuk itu, Indonesia perlu mendorong inovasi dan riset agar tidak sekadar menjual SDA bernilai tambah rendah. Setiap komoditas, baik pertanian maupun pertambangan, menurut Bambang, perlu ditingkatkan nilai tambahnya sebelum dijual.
"Misal Indonesia terkenal sebagai eksportir nikel terbesar, kita jangan bangga dengan itu terus menerus. Apa seharusnya kebanggaan itu? Kalau, (kita) jadi salah satu leading produser baterai kendaraan listrik," ucapnya.
Baca juga: Bappenas: Indonesia bisa keluar dari 'middle income trap' pada 2036
Baca juga: OJK: Pertumbuhan ekonomi 7 persen di kuartal II dapat tercapai
Baca juga: Sri Mulyani ungkap empat kunci RI keluar dari jebakan kelas menengah
Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: