Jakarta (ANTARA News) - Usulan untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto menjadi polemik dalam waktu singkat. Beberapa pihak menolak, sedangkan pihak yang lain mendukung untuk menjadikan Soeharto sebagai bapak bangsa dengan memberinya gelar pahlawan.

Polemik itu berawal ketika Kementerian Sosial mengajukan sepuluh nama tokoh yang telah diseleksi untuk memperoleh gelar pahlawan nasional kepada Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa.

Sepuluh tokoh itu adalah mantan Gubernur DKI Ali Sadikin dari Jawa Barat, Habib Sayid Al Jufrie dari Sulawesi Tengah, mantan Presiden HM Soeharto dari Jawa Tengah, mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid dari Jawa Timur.

Kemudian Andi Depu dari Sulawesi Barat, Johanes Leimena dari Maluku, Abraham Dimara dari Papua, Andi Makkasau dari Sulawesi Selatan, Pakubuwono X dari Jawa Tengah, dan Sanusi dari Jawa Barat.

Dari sekian banyak tokoh yang dicalonkan, hanya Soeharto yang menarik perhatian dan menjadi bahan pemberitaan. Maklum saja, tokoh yang satu ini begitu lekat dengan berbagai pencapaian positif hingga tabir kelam keterpurukan bangsa.

Kontroversi
Soeharto adalah tokoh kontroversial. Dia lahir dalam keluarga petani yang sederhana dan berhasil menjadi seorang pemimpin negeri, sekaligus menyandang tanda kehormatan sebagai Jenderal Besar.

Masa kecilnya dia habiskan di Yogyakarta. Dia mengenyam pendidikan dasar dan menengah di berbagai tempat, hingga akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang prajurit.

Laman resmi kepustakaan presiden menyebut rekam jejak pendidikan keprajuritan Soeharto cemerlang. Dia terpilih sebagai prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941.

Empat tahun kemudian, bertepatan dengan hari TNI, Soeharto resmi menjadi tentara. Bersama istrinya, Siti Hartinah, Soeharto menjalani karir kemiliteran di medan tempur. Dia terlibat dalam sejumlah pertempuran pada masa perang kemerdekaan.

Karir kemiliteran yang cemerlang mendekatkannya dengan figur-figur kekuasaan, hingga akhirnya dia sendiri yang dipercaya untuk mengemban kekuasaan itu sebagai presiden.

Soeharto memerintah selama 32 tahun. Beberapa pihak menyematkan julukan "Bapak Pembangunan" kepadanya. Sebutan itu dikaitkan dengan serangkaian pembangunan yang terukur melalui rencana lima tahunan.

Ia juga dianggap sebagai figur yang terbuka dengan konsep pembangunan dan pemerintahan barat, yang berujung pada gelontoran modal yang masuk membanjiri Indonesia.

Namun, di sisi lain, beberapa pihak menyamakan gaya pemerintahannya dengan model kekuasaan otoriter yang dibungkus dalam praktik-praktik demokrasi.

Bahkan, sejumlah orang mengaitkan Soeharto dengan sejumlah kasus pelanggaran HAM dan korupsi, hingga akhirnya dia "dipaksa" turun dari tampuk pimpinan.

Salah satu kasus korupsi yang menyeretnya adalah kasus dugaan penyalahgunaan dana Yayasan Beasiswa Supersemar. Soeharto diduga menyalahgunakan dana sejumlah Bank BUMN yang dialirkan ke yayasan tersebut.

Kontroversi itu membuat beberapa pihak menolak usulan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Bara Hasibuan, menilai tidak tepat bila mantan Presiden Soeharto diberikan gelar pahlawan nasional.

"Pemberian gelar pahlawan buat Soeharto itu tidak tepat untuk saat ini karena kita masih meyembuhkan luka lama. Itu sangat tidak sensitif dan secara politik juga tidak tepat," katanya.

Menurut dia, kesulitan-kesulitan yang dirasakan bangsa Indonesia saat ini, juga tidak lepas dari warisan rezim otoritarian Soeharto, yakni korupsi yang merajalela dan sumber daya manusia yang rendah.

Sekretaris Departemen Pemajuan dan Perlindungan HAM Partai Demokrat, Rachland Nashidik, juga menolak bila Soeharto mendapatkan gelar pahlawan nasional.

"Soeharto tidak layak diberikan gelar pahlawan nasional karena kepemimpinannya yang otoriter," katanya menegaskan.

Penolakan juga datang dari para aktivis Himpunan Mahasiswa Islam. Dalam pernyataan resmi, organisasi itu menyatakan, Soeharto selama lebih dari 32 tahun telah menjerumuskan bangsa ini kepada keterpurukan yang tiada tara.

HMI menyatakan, Soeharto terlibat dalam kejahatan HAM berat atau kejahatan terhadap kemanusiaan, yang semestinya tidak bisa dihapuskan di luar pengadilan.

Dukungan
Meski ada penolakan, gelombang dukungan penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional juga datang silih berganti. Salah satu pendukung itu adalah Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta yang menyatakan, "Bagi PKS, Soeharto layak jadi pahlawan nasional."

Menurut dia, pemberian gelar pahlawan kepada Presiden RI ke-2 itu adalah bentuk kearifan dari orang hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia.

Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso juga menyatakan dukungan. Politisi Partai Golkar itu mengatakan, Soeharto pantas mendapat gelar pahlawan karena dia telah banyak berjasa kepada bangsa dan negara Indonesia.

Menurut Priyo, Soeharto sudah banyak berjasa kepada bangsa dan negara, meskipun masih ada tanggapan pro dan kontra dari masyarakat.

Menurut dia, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Terlepas dari kekurangannya, pengabdian Soeharto kepada bangsa dan negara sekian lama, sehingga layak mendapatkan gelar pahlawan.

"Meskipun masih ada pro dan kontra, tapi Partai Golkar akan terus memperjuangkan Soeharto sebagai pahlawan nasional," katanya.

Sementara itu, menurut mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi, mengukur jasa Soeharto terhadap negara tidak bisa hanya diukur atau dilihat dari suasana Indonesia hari ini.

"Soeharto memulai kekuasaannya dalam suasana revolusioner. Tanpa Soeharto, Indonesia sudah menjadi negara komunis, tanpa Pancasila, tanpa UU 1945, dan tanpa agama," tandasnya.

Hasyim mengatakan, saat ini memang perlu dilakukan rekonsiliasi nasional agar negara tidak hidup dalam dendam, khususnya dendam kelompok tertentu terhadap Soeharto.

Mantan Menteri Pertanian Anton Apriantono dan tokoh nasional Ginandjar Kartasasmita menegaskan semua orang pasti memiliki kesalahan. Namun, setiap orang pasti juga pernah berbuat baik.

Bahkan, Ginandjar memahami jika publik membahas berbagai hal yang dianggap sebagai kesalahan Soeharto pada masa lalu. Namun, katanya, kesalahan itu tidak serta merta menghapus jasa dan sifat kepahlawanan Soeharto.

"Kita memang tidak boleh melupakan kesalahan pada masa lalu, supaya tidak terulang lagi, tetapi sebagai umat beragama dan bangsa yang besar, kita harus bisa memaafkan kesalahan di masa lalu," katanya.

Salah satu sifat kenegarawanan Soeharto yang patut dihargai adalah ketika dia memutuskan untuk mengundurkan diri. Ginandjar menegaskan, keputusan itu diambil oleh Soeharto untuk memperbaiki situasi yang semakin memburuk.

"Karena beliau menghormati konstitusi. Karena beliau ingin menghindari terjadinya konflik yang lebih besar," katanya.

Di tempat terpisah, pengamat ekonomi Bustanul Arifin mengatakan, polemik tentang pencalonan Soeharto sebagai pahlawan nasional itu adalah bagian dari proses pencarian seorang Bapak Bangsa.

Ia menyatakan setiap pemimpin negara tidak bisa lepas dari kesalahan. Namun demikian dia juga percaya bahwa setiap negara pasti memiliki Bapak Bangsa yang patut dihargai dan menjadi panutan.

"Hampir seluruh negara punya Bapak Bangsa, terlepas ada warga yang setuju atau tidak," katanya.
(F008/B010)