Dili (ANTARA News) - Sebuah batu giok bermotif gajah tersimpan anggun di sudut ketika para pengunjung menyantap burger dan ayam goreng di salah satu dari tiga rumah makan cepat saji ala Amerika di Timor Leste yang semuanya dimiliki dan dioperasikan warga keturunan Cina.

Mata uang yang digunakan mungkin saja sama --dolar AS digunakan sebagai salah satu mata uang resmi Timor Leste-- dan makanan boleh murah, tapi restoran Brothers Burger di ibukota Dili yang berdebu itu lebih dari sekedar tiruan dari aslinya di AS sana.

Di satu ruangan restoran itu ada toko mainan kecil berisi games, gadget dan binatang mainan impor yang tentu saja dari China.

Di dinding lainnya berjejer perhiasan imitasi dari plastik yang juga buatan China.

Dan jika sewaktu-waktu pengunjung restoran ingin cepat pergi keluar Timor Leste setelah makan di restoran ini, maka mereka bisa membuat pasfoto untuk paspor di sebuah booth buatan China di belakang salah satu pintu restoran itu.

Manajer Priscilla Soh mengatakan sang pemilik restoran, Brothers Enterprises yang berbasis di China, mempunyai spesialisasi dalam "memasok semuanya" sehingga tak heran rumah makan berumur dua tahun itu disandingkan dengan sampingan-sampingan lainnya.

"Jika Anda berani datang dan berani mengambil risiko, maka Anda bisa mendapat untung. Saya sangat mendorong teman-teman Barat-ku yang ingin ke sini dan berinvestasi di sini," katanya.

Tetapi untuk teman-teman Cina-nya, dia berkata, "Ini tidak mudah karena sudah terlalu banyak orang Cina di sini."

Usaha burger ini membentuk kelas investor menengah China di Timor Leste, yaitu negeri yang alamnya kaya dan berpenduduk hanya satu juta orang serta tergantung pada bantuan asing.

Dari permukaan mereka hanya kelompok usaha rumahan yang dikendalikan keluarga, namun di sisi lain usaha mereka adalah kepanjangan tangan dari negara China.

Beijing telah memberikan jutaan dolar AS untuk membangun istana kepresiden baru, kantor kementerian luar negeri, dan markas besar militer Timor Leste.

Ketiga bangunan itu adalah struktur bangunan baru yang paling impresif di Dili, dan membuat Australia berkerut keningnya, apalagi negeri satu ini menganggap Timor Leste ada dalam jangkauan pengaruhnya.

Profesor Hugh White dari Pusat Studi Strategis dan Pertahanan pada Universitas Nasional Australia (ANU), berkata pada radio ABC bulan lalu bahwa kepentingan China di Timor Leste mesti diawasi Australia.

"Orang Australia selalu sangat sensitif terhadap kekuatan-kekuatan besar yang memproyeksikan kekuatannya ke bagian dari dunia kita... " katanya.

Bagian yang paling disorot media Australia adalah pembelian kapal patroli kelas Shanghai buatan 1960an oleh Timor Leste seharga 25 juta dolar AS, yang dikhawatirkan Australia sebagai meningkatnya kerjasama militer Beijing dan Dili.

Presiden Timor Leste Jose Ramos-Horta adalah teman Australia, tapi secara terbuka dia mengejek ketakutan Australia itu.

"Saya bisa menjamin Australia bahwa Timor Timur dan China tidak akan membangun pangkalan angkatan laut dan udara untuk menginvasi Australia," kata Horta kepada AFP.

Seraya mengejek para analis pertahanan di Canberra, Horta berkata, "Australia bisa terus hidup damai, mereka tak perlu terburu-buru belajar bahasa Mandarin."

Peraih Nobel ini menegaskan bahwa mitra utama kerjasama militernya adalah Australia, namun mengeluhkan standard ganda Australia karena mengkhawatirkan pengaruh China di Timor Leste.

"Australia tidak pernah begitu khawatir ketika mereka menjual apa saja ke China... tapi ketika kami membeli sejumlah kecil barang dari China mereka marah, sepertinya mereka cemburu," kata Horta.

Presiden Timor Leste ini menambahkan bahwa kalau mau Chinalah yang untung, setelah Timor Leste memberinya kontrak perdagangan besar dengan satu perusahaan China untuk membangun sebuah pembangkit listrik di luar kota Dili.

"Ini proyek senilai 400 juta dolar yang dibiayai secara eksklusif oleh kami, sehingga bantuan apapun yang diberikan China dalam 10 tahun terakhir Anda bisa lipatkan 10 kali dari itu tidak akan pernah mencapai perjanjian bisnis yang telah kami tandangani dengan mereka," demikian Ramos Horta. (*)

AFP/adm/AR09