Jakarta (ANTARA) - Merinding, sangat terharu dan bangga ketika Indonesia Raya berkumandang mengiringi penaikan bendera Merah Putih di Musashino Forest Sport Plaza, Tokyo, Jepang (2/08/2021).
Saya merasa begitu emosional dan tenggorokan tercekat serta tanpa terasa mata membasah atau mbrebes mili kata orang Jawa.
Ganda putri Indonesia, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu-lah, yang menyebabkan semua itu. Bersatus non-unggulan, keduanya tampil mantap di final bulu tangkis untuk menundukkan pasangan unggulan 2 dari Tiongkok, Chen Qing Chen/Jia Yia Fan, sekaligus meraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020.
Raihan emas di saat krisis pandemi COVID-19 yang berkepanjangan dan menjelang hari ulang tahun kemerdekaan ke-76 Republik Indonesia, seperti penawar dahaga dan kado manis ulang tahun.
Kemenangan Greysia/Apriyani pun menunjukkan selalu ada harapan untuk mencapai yang terbaik dan harapan tak jera dengan negeri ini. Kemenangan yang membakar kembali rasa kebangsaan kita dan menjadi sebuah momentum nasionalisme yang monumental.
Kemenangan Greysia/Apriyani juga terlihat bahwa melalui olahraga terbukti nasionalisme suatu bangsa terjaga apinya bahkan tersulut kobarannya. Olimpiade, Asian Games ataupun perhelatan olahraga lainnya seperti kejuaraan sepakbola Piala Dunia misalnya, menjadi suatu ritual nasionalisme bangsa-bangsa sejak lama.
Ritualisme yang membuktikan bahwa globalisasi tidak sedikit pun mengarah pada penggantian nasionalisme, melainkan justru memperkuatnya.
Nasionalisme atau rasa kebangsaan tidak lepas dari sistem simbol. Bendera negara dan lambang negara menjadi dua simbol utama yang mendasar.
Banyak hal lain yang bersifat simbolis, merepresentasikan kekuatan dan kejayaan bangsa. Simbol-simbol itu akan berfungsi menumbuhkan emosi kebangsaan jika dijunjung dalam ritual-ritual kebangsaan.
Emosi kebangsaan kita yang bangkit saat Indonesia Raya berkumandang dan Merah Putih berkibar di perhelatan olahraga tidak kalah dari emosi kebangsaan yang bangkit di antara para pemuda saat mereka merobek bendera penjajah dan menggantikannya dengan bendera Merah Putih di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Betapa pentingnya memelihara simbol-simbol bangsa dan mengadakan ritual-ritual kebangsaan dalam membangun nasionalisme dan memelihara persatuan sesungguhnya telah disadari sejak awal oleh proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia Sukarno atau Bung Karno.
Ia sejak awal telah menjadikan olahraga sebagai sarana pembangunan karakter bangsa (nation building). Bung Karno mendukung upaya konsolidasi untuk mengorganisi kembali olahraga di Indonesia.
Bahkan ia yang menjadi peletak dasar olahraga sebagai sarana pemersatu bangsa Indonesia. Ia melihat dengan jeli bagaimana nasionalisme bangsa yang baru saja merdeka digelorakan lewat olahraga.
Sebagai penggali Pancasila, Bung Karno melihat urgensi menggunakan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Tidak hanya Pancasila, ia pun melihat harus ada pengikat lain yang secara nyata bisa dilihat hasilnya yakni lewat prestasi olahraga.
Karena itu ia mendukung Kongres Olahraga Pertama pada 1948 dan penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama pada 9 September 1948 di Surakarta, Jawa Tengah.
Selanjutnya dalam pidato kenegaraaan 17 Agustus 1957, Bung Karno menegaskan pentingnya pendidikan jasmani dan olahraga bagi pembentukan karakter bangsa. Sebab itu Pemerintah tidak hanya memperhatikan pelaksanaan pendidikan jasmani, di sekolah-sekolah dan masyarakat, tapi juga menempatkan pendidikan jasmani sebagai urusan negara dan menetapkannya sebagai keharusan negara.
Pada era Orde Baru, muncul slogan populer “Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat,” yang disampaikan Presiden Suharto untuk pertama kalinya dalam Sidang Paripurna DPR pada 16 Agustus 1981.
Slogan tersebut diperdengarkan di berbagai media massa sebagai bagian dari strategi membangun manusia Indonesia yang utuh lewat olahraga dan upaya mendorong prestasi olahraga nasional ke tingkat dunia.
Slogan tersebut diikuti dengan instruksi Presiden untuk melakukan pemassalan olahraga sejak jenjang sekolah dasar. Sedini mungkin anak-anak Indonesia musti ditumbuhkan minatnya pada olahraga.
Puncaknya adalah penetapan Hari Olahraga Nasional pada 9 September 1983, tanggal 9 September diambil dari tanggal pembukaan PON pertama Indonesia di Surakarta, pada 9 September 1948.
Penetapan Hari Olahraga Nasional sekali lagi menunjukkan pentingnya olahraga dalam membangun dan memperkuat rasa kebangsaan dan bahwa banyak nilai-nilai yang patut diteladani seperti kedisiplinan, sportivitas, hingga perwujudan nilai persatuan dan kesatuan.
Ketika para olahragawan bertanding mewakili bangsa dan negara, masyarakat tidak lagi memandang dari daerah mana, ras apa atau agamanya apa. Masyarakat lebih mengedepankan semangat persatuan dan rasa kebangsaan Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa, agama dan bahasa. Karena Indonesia beragam maka olahragawan yang mewakili negeri ini pun memiliki latar belakang yang beragam.
Greysia Polii adalah sosok sempurna yang mewakili keberagaman Indonesia. Pelatihnya adalah keturunan Tionghoa tulen asal Solo, pasangannya di lapangan keturunan Papua-Blitar.
Ia sendiri orang Minahasa tulen ada Tionghoa dikit. “Kalau bukan Indonesia yang mempersatukan kami, kami tidak akan pernah bisa bersatu #banggaberkebangsaaan Indonesia #SAYAINDONESIA #SAYAPANCASILA,” begitu cuitan Greysia Polii sesaat setelah merebut medali emas.
Melalui olahraga dan laku olahragawan kita juga belajar untuk tidak menghalalkan segala cara. Terdapat nilai yang lebih besar dari sekadar mengejar kemenangan yaitu menumbuhkembangkan nilai-nilai luhur, meningkatkan produktivitas dan kesehatan yang sangat bermanfaat dalam kehidupan.
Bukankah kita mengenal perkataan Mens Sana In Corpore Sano (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat).” Kini di saat pandemi Covid-19, makna sehat menjadi sangat terasa.
Mereka yang dahulunya kerap abai menjaga kesehatan, kini justru berupaya sungguh-sungguh dan bersedia membayar mahal agar tetap negatif Covid-19 dengan berolahraga dan mengomsumsi suplemen kesehatan.
Melalui olahraga kita bisa menanamkan nilai-nilai Pancasila dan pembentukan karakter bangsa karena banyak hal yang bisa dicontoh dan dijadikan teladan dari sosok olahragawan.
Keberhasilan yang diraih olahragawan di antaranya Nurfitriyana Saiman, Lilies Handayani, Kusuma Wardhani, Susi Susanti, Alan Budi Kusuma, Eko Yuli Irawan, Greysia Polii, Apriyani Rahayu, dan banyak nama olahragawan lain nasional tidak diraih melalui jalan pintas.
Para olahragawan meraih posisi terbaik melalui kerja keras, disiplin tinggi dan memelihara nasionalisme tinggi di tengah berbagai keterbatasan dan persaingan yang ketat.
Tanpa itu semua hal itu, tidak mungkin kita bisa mewujudkan Indonesia yang tangguh dan maju seperti bunyi tema hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia pada 2021, “Indonesia Tangguh Indonesia Maju”.
*) Aris Heru Utomo, Direktur Standardisasi Materi dan Metode Aparatur Negara BPIP
Telaah
Olahraga dan peneguhan rasa kebangsaan
Oleh Aris Heru Utomo *)
3 Agustus 2021 14:40 WIB
Aris Heru Utomo, Direktur Standardisasi Materi dan Metode Aparatur Negara BPIP (ANTARA/HO-dok.pribadi)
Copyright © ANTARA 2021
Tags: