Yogyakarta (ANTARA News) - Tubuh rentanya terduduk bersandarkan tumpukan barang berupa tas yang biasa dibawa untuk bepergian, raut wajahnyga tidak jelas terbaca.
Ia seakan tidak terusik dengan keriuhan yang terjadi di sekelilingnya dan tidak ada lagak berlebihan meskipun ia sempat mengobrol dengan Wakil Presiden Boediono.
Yono Karyono, orang itu, bahkan tidak tahu ia berbicara dengan Wakil Presiden yang datang meninjau pengungsian yang berjarak sekitar 10 km dari Puncak Merapi itu.
"Senang," katanya singkat dalam bahasa Jawa dan suara pelan. Ia hanya tahu bahwa yang datang adalah seorang pembesar.
Pada usia yang diakuinya sudah mencapai 101 tahun, Yono yang biasa dipanggil Mbah, menjadi pengungsi tertua di posko pengungsian Hargodibangun, Sleman, Yogyakarta.
Sejak dinyatakan berstatus "awas" pada Senin (25/10) pagi, pemerintah setempat mengutamakan evakuasi kelompok rentan yaitu lansia, balita, ibu hamil, dan penyandang cacat.
Gunung Merapi yang akhirnya memuntahkan awan panas tidak lama setelah Wapres Boediono dan beberapa menteri datang memaksa warga mengungsi ke posko yang sudah disediakan.
Meskipun sudah berusia lebih satu abad, Mbah yang berpakaian batik lengan panjang di atas kemeja kotak-kotak dan kaus putih yang melapisi tubuh kurusnya dilengkapi blangkon didominasi warna merah terlihat cukup sehat.
Pendengarannya yang tidak begitu jernih lagi memaksa orang yang berbicara dengannya harus mendekatkan wajah.
Selain masalah pendengaran itu, Mbah Yono tidak memperlihatkan tanda-tanda kurang sehat, bahkan giginya juga masih banyak yang bertengger di dalam mulut keriput itu.
Ini kali kedua Mbah Yono mengungsi karena alam menunjukkan kuasanya setelah Merapi juga meletus pada 2006.
Menurut Mbah Yono, yang mengaku sewaktu muda bekerja sebagai penjaga malam, dulu tidak ada tanda-tanda yang ditunjukkan Merapi saat memuntahkan isinya.
Mbah Yono memperkirakan mungkin kali ini letusan Merapi akan lebih dahsyat dibandingkan sebelumnya. Mbah berharap Merapi tidak begitu gusar menunjukkan keperkasaannya sehingga tdak menjadi bencana bagi semua.
Geliat Merapi
Harapan Mbah Yono mungkin hanya tinggal harapan, Merapi akhirnya mengeluarkan asap panas pada hari yang sama setelah para pembesar dari Jakarta menginjakkan kakinya ke Yogyakarta.
Awan pekat panas yang biasa disebut warga setempat dengan wedus gembel itu membumbung tinggi dari Puncak Merapi Selasa sore.
Sebelumnya, meski gejala alam Merapi terus menunjukkan peningkatan ditandai semakin sering terjadi gempa vulkani dan guguran lava, belum dapat dipastikan kapan puncak letusan terjadi.
Petugas pengamat Pos Pengamatan Gunung Merapi Kaliurang Heru Suparwoko mengatakan, gempa masih terjadi baik vulkanik A dan B maupun vulkanik multifase dan guguran lava.
Awan panas yang disemburkan gunung api yang memiliki ketinggian 2.980 meter di atas permukaan laut (mdpl) hingga saat ini telah menelan korban jiwa sedikitnya 25 orang termasuk juru kunci Merapi, Mbah Maridjan.
Merapi yang terletak di Jawa Tengah dan Yogyakarta, sejak 1548 sudah meletus sebanyak 68 kali. Terakhir Merapi meletus pada 15 Mei 2006.
Pada 1 Juni, hujan abu vulkanik dari luncuran awan panas Gunung Merapi yang lebat, terjadi di Kota Magelang dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Akhirnya 8 Juni 2006, Gunung Merapi meletus pada pukul 09.00 WIB dengan semburan awan panas yang membuat ribuan warga di wilayah lereng gunung itu panik dan berusaha menyelamatkan diri.
Di kala tenang, Gunung Merapi merupakan berkah bagi 13.581 jiwa yang tinggal di tiga kecamatan di Kabupaten Sleman yang berada di kawasan rawan bencana Merapi.
Merapi membawa berkah material pasir bagi warga, sedangkan bagi pemerintah daerah, Gunung Merapi menjadi obyek wisata.
Namun saat Merapi mengamuk, belasan desa di sekitarnya harus menerima awan panas, lava pijar, lontaran material pijar dan gas beracun.
(D016/B010)
Antara Berkah dan Bencana Merapi
27 Oktober 2010 14:03 WIB
Oleh Oleh Desi Purnamawati
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010
Tags: