Klaten (ANTARA News) - Kajaiban alam selalu sulit diduga, termasuk meletusnya Gunung Merapi yang berada di daerah perbatasan Provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah, pada Selasa (26/10) sore.

Letusan Merapi pada hari itu mengejutkan warga yang bertempat tinggal di daerah lereng gunung berapi tersebut, karena letusan itu tidak seperti yang terjadi pada 1996.

"Kami takut melihat letusan Gunung Merapi sore itu karena seperti kembang api," kata Mujidarto (50), warga Butuh Kulon, Kelurahan Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang ikut mengungsi di Posko Merapi di Kemalang.

Menurut dia, pada letusan 2006, Merapi hanya mengeluarkan lahar panas yang langsung mengalir ke bawah. Sedangkan sore itu, api terlontar ke udara, layaknya kembang api raksasa.

Melihat api yang terlontar ke angkasa itu, warga pun, kata Mudjiarto, berhamburan mencari selamat sendiri-sendiri.

"Rumah kami dari Puncak Merapi itu jaraknya hanya sekitar empat kilometer," katanya.

"Saya sangat takut melihat letusan seperti kembang api itu dan terus lari sampai istri anak dan cucu tidak kepikiran. Mereka berpencar ke mana juga tidak tahu," katanya.

Menurut Mudjiarto, akhirnya dia bisa berkumpul dengan istri, anak dan cucu pada Rabu dini hari di Posko Merapi Kemalang.

Jumlah pengungsi di Posko Merapi Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten jumlahnya melebihi perkiraan.

Sebelumnya diperkirakan jumlah pengungsi di sana paling banyak 5.717 jiwa, ternyata jumlahnya menjadi 8000 jiwa lebih, kata Camat Kemalang Suradi.

Jumlah pengungsi sebanyak itu ditempatkan di tiga posko yaitu Keputren, Dompol, dan Bawukan.

Mereka berasal dari empat desa, yakni Balairantai, Sidorejo, Tegal Mulyo, dan Kendalsari serta dari daerah Boyolali.

"Warga yang mengungsi itu kami angkut dengan truk dan armada lainnya. Yang penting mereka bisa terbawa sampai posko keamanan yang dibantu oleh aparat keamanan baik TNI, Polri, SAR dan lain-lain," katanya.

Untuk warga yang mengungsi ini tidak ditempatkan di tenda yang di pasang di lapangan, tetapi ditampung di gedung-gedung sekolah, balai desa dan rumah.

"Kami tidak berani menampatkan warga kami di tenda-tenda yang digelar di lapangan untuk bermalam, karena sekarang ini cuacanya sangat ekstrem. Kondisi seperti itu sangat rentan penyakit," kata Suradi.

Mengenai masalah makan bagi pengungsi sementara ini masih cukup beberapa hari. "Mengenai makanan bayi tadi malam saya dapat kabar akan dikirim dari Jakarta dan siang ini akan datang," katanya.

Mengenai korban akibat letusan, Suradi mengatakan warga di wilayahnya semuanya selamat, dan mereka untuk sementara belum boleh pulang.

"Tadi pagi memang ada para pengungsi, utamanya kaum pria dan para pemuda, yang pulang. Tetapi mereka itu hanya menengok rumah dan memberi makan ternak saja setelah itu juga ke pengungsian lagi," katanya.

Suradi mengatakan, penambangan paiar juga dilarang semua selama situasi masih rawan.

Kepala SMP Negeri 1 Kemalang Karyanto mengatakan sementara ini belajar mengajar ditiadakan, karena ruang kelas digunakan sebagai tempat pengungsian.

"Tetapi, kalau ini terus berkepanjangan para siswa tetap masuk dan belajar di perumahan," katanya.
(U.J005/S018/P003)