Di sidang MK kuasa hukum mantan ketua KPU sebut kekuasaan DKPP absolut
2 Agustus 2021 19:31 WIB
Tangkapan layar Hakim MK Saldi Isra pimpin sidang pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Senin (2/8/2021). ANTARA/HO-MK.
Jakarta (ANTARA) - Kuasa hukum mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman dan Anggota KPU Evi Novida Ginting, Fauzi Heri, mengatakan adanya frasa yang menyatakan putusan Dewan Kehormatan Pemilihan Umum (DKPP) bersifat final dan mengikat merugikan pemohon secara konstitusional karena memiliki kekuasaan absolut.
"Kedudukan hukum pemohon sebagai Warga Negara Indonesia yang menjabat sebagai anggota KPU telah dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapat perlakuan yang sama di depan hukum," kata Fauzi saat sidang pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Senin.
Di hadapan majelis panel yang pimpin Hakim MK Saldi Isra serta Anggota Panel Hakim MK Suhartoyo dan Hakim MK Enny Nurbaningsih, Fuazi menyebut DKPP memiliki kekuasaan absolut dalam memberikan sanksi dan memberikan predikat pelanggar etika bagi penyelenggara pemilu.
Baca juga: Anggota KPU ajukan uji materi soal putusan DKPP final mengikat
Sehingga, menurut pemohon, tugas penyelenggaraan pemilu yang diemban oleh pemohon, termasuk melakukan koordinasi, supervisi dan arahan kepada KPU di daerah menjadi terkendala.
Uraian kerugian konstitusional pemohon I yakni Evi Novida Ginting pernah diberhentikan oleh DKPP dan ditindaklanjuti dengan keputusan presiden tentang pemberhentian dengan tidak hormat anggota KPU masa jabatan 2017-2022.
Namun, Evi Novida Ginting mengajukan upaya hukum mengajukan gugatan di PTUN Jakarta yang akhirnya membatalkan keputusan presiden tersebut. Sedangkan putusan DKPP tidak dapat diuji karena putusannya bersifat final dan mengikat.
Selain itu, pemohon II yakni Arief Budiman diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua KPU RI oleh DKPP karena mendampingi pemohon I saat mendaftarkan gugatan di PTUN Jakarta dan menerbitkan surat yang pokoknya mengaktifkan kembali pemohon I sebagai anggota KPU RI.
Baca juga: Ketua DKPP bahas pemberhentian Ketua KPU Arief Budiman dengan DPR
"Berdasarkan uraian itu, maka para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon dalam pengujian undang-undang ini," kata mantan Ketua KPU Kota Bandar Lampung tersebut.
Dalam sidang yang digelar secara virtual tersebut, Fauzi menerangkan perspektif legal yaitu tentang kelembagaan DKPP, sifat final dan mengikat putusan DKPP, putusan DKPP "abuse of power" dan putusan DKPP tidak dapat diuji.
Batu uji hak konstitusional yang disampaikan dalam permohonan di antaranya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 G ayat (1), Pasal 28 H ayat (2), Pasal 28 I ayat (2) dan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.
Dalam petitumnya pemohon memohon kepada majelis hakim Mahkamah Konstitusi memutus dan menyatakan Pasal 458 ayat (13) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan seterusnya.
Baca juga: Evi: Putusan DKPP berhentikan Arief dari Ketua KPU berlebihan
"Kedudukan hukum pemohon sebagai Warga Negara Indonesia yang menjabat sebagai anggota KPU telah dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapat perlakuan yang sama di depan hukum," kata Fauzi saat sidang pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Senin.
Di hadapan majelis panel yang pimpin Hakim MK Saldi Isra serta Anggota Panel Hakim MK Suhartoyo dan Hakim MK Enny Nurbaningsih, Fuazi menyebut DKPP memiliki kekuasaan absolut dalam memberikan sanksi dan memberikan predikat pelanggar etika bagi penyelenggara pemilu.
Baca juga: Anggota KPU ajukan uji materi soal putusan DKPP final mengikat
Sehingga, menurut pemohon, tugas penyelenggaraan pemilu yang diemban oleh pemohon, termasuk melakukan koordinasi, supervisi dan arahan kepada KPU di daerah menjadi terkendala.
Uraian kerugian konstitusional pemohon I yakni Evi Novida Ginting pernah diberhentikan oleh DKPP dan ditindaklanjuti dengan keputusan presiden tentang pemberhentian dengan tidak hormat anggota KPU masa jabatan 2017-2022.
Namun, Evi Novida Ginting mengajukan upaya hukum mengajukan gugatan di PTUN Jakarta yang akhirnya membatalkan keputusan presiden tersebut. Sedangkan putusan DKPP tidak dapat diuji karena putusannya bersifat final dan mengikat.
Selain itu, pemohon II yakni Arief Budiman diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua KPU RI oleh DKPP karena mendampingi pemohon I saat mendaftarkan gugatan di PTUN Jakarta dan menerbitkan surat yang pokoknya mengaktifkan kembali pemohon I sebagai anggota KPU RI.
Baca juga: Ketua DKPP bahas pemberhentian Ketua KPU Arief Budiman dengan DPR
"Berdasarkan uraian itu, maka para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon dalam pengujian undang-undang ini," kata mantan Ketua KPU Kota Bandar Lampung tersebut.
Dalam sidang yang digelar secara virtual tersebut, Fauzi menerangkan perspektif legal yaitu tentang kelembagaan DKPP, sifat final dan mengikat putusan DKPP, putusan DKPP "abuse of power" dan putusan DKPP tidak dapat diuji.
Batu uji hak konstitusional yang disampaikan dalam permohonan di antaranya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 G ayat (1), Pasal 28 H ayat (2), Pasal 28 I ayat (2) dan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.
Dalam petitumnya pemohon memohon kepada majelis hakim Mahkamah Konstitusi memutus dan menyatakan Pasal 458 ayat (13) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan seterusnya.
Baca juga: Evi: Putusan DKPP berhentikan Arief dari Ketua KPU berlebihan
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021
Tags: