Jakarta (ANTARA) - Plt. Direktur Utama KAI Commuter Roppiq Lutzfi Azhar mengatakan, adaptasi dan digitalisasi menjadi kunci utama KAI Commuter bertahan dan terus maju di masa pandemi COVID-19. Ada pun adaptasi termasuk penerapan protokol kesehatan dan lain sebagainya.

"Terdapat beberapa langkah yang kami lakukan untuk winning pandemic dan tetap melayani masyarakat. Pertama adalah mengubah budaya internal dalam penerapan protokol kesehatan di lingkungan KAI Commuter," kata Roppiq dalam diskusi media daring, ditulis pada Sabtu.

"Kedua adalah kita harus resilience. Memberikan extra service dengan pengaturan flow penumpang di stasiun dan di dalam KRL. Lalu menyediakan sarana dan prasarana pendukung prokes, penyemprotan disinfektan di stasiun dan KRL, mengembangkan aplikasi KRL Access untuk mendukung prokes, dan membentuk agen perubahan C-Ranger untuk percepat implementasi budaya baru naik KRL," jelas dia.

Langkah ketiga adalah mengubah budaya masyarakat dalam penerapan protokol kesehatan dan membangun kepercayaan konsumen KRL sebagai transportasi publik yang aman, mengutamakan kesehatan, ramah lingkungan dan adaptif terhadap perubahan.

"Langkah keempat adalah menjalankan operasi dengan new normal activities, menerapkan strategi yang adaptif dengan perubahan, serta mengembangkan bisnis yang fokus pada sustainability development," kata Roppiq.

Di sisi lain, ia juga memaparkan bahwa di masa pandemi ini, KAI Commuter hanya melayani 66,6 juta penumpang di tahun ini karena kenaikan jumlah kasus positif yang terus meroket. Hal ini kemudian memaksa perusahaan untuk semakin membatasi penumpang di dalam kereta, dari yang mulanya berkapasitas 200 penumpang, dipangkas menjadi 74, lalu di masa PPKM menjadi 52 penumpang saja.

"Pertumbuhan penumpang turun sebesar 60 persen karena pengurangan kapasitas di kereta, dengan semua penyesuaian dan penerapan protokol kesehatan yang ada tetap kami melakukan efisiensi melalui harga yang tetap affordable untuk masyarakat," ujar Roppiq.

Soal digitalisasi, Roppiq mengatakan terdapat aplikasi yang bisa digunakan masyarakat untuk memantau ramai-tidaknya stasiun dan kereta yang hendak dituju untuk meminimalisir kerumunan. Hal ini ia nilai mendapat respon positif dari masyarakat.

"Dalam kondisi sekarang yang penuh ketidakpastian dan selalu berubah, kita dipaksa untuk terus inovasi, menemukan jalan untuk bertahan dan berdaptasi," kata Roppiq.

"Di KCI, kita digitalisasi juga, dimana para pengguna KRL bisa tahu bahwa stasiun-stasiun tertentu bisa dipantau sebelum masuk, apakah landai atau padat, dan lainnya. Hal itu banyak dirasakan pengguna sehingga bisa mengurangi kepadatan di stasiun. Hal-hal kecil seperti itu sudah berdampak besar kepada pelanggan," imbuhnya.

Baca juga: Penumpang KRL Jabodetabek mulai tanggal 12 wajib bawa STRP

Baca juga: Penumpang KRL belum banyak menggunakan STRP

Baca juga: Integrasi transportasi di JIS membuka ruang interaksi publik