IESR: Pertumbuhan ekonomi harus selaras dengan ketahanan iklim
31 Juli 2021 00:24 WIB
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (tengah) berbincang dengan Menteri Lingkungan dan Sumber Air Singapura Masagos Zulkifli (kanan) setelah berbicara di 5th Singapore Dialogue on Sustainable World Resources di Singapura, Jumat (18/5). Dialog yang dihadiri berbagai pemangku kepentingan ini membahas cara mencapai pertumbuhan ekonomi dengan memastikan Kesepakatan Paris (Paris Agreement) tetap dijalankan. (ANTARA News/Virna P Setyorini)
Jakarta (ANTARA) - Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang target penurunan emisi karbon di Indonesia masih belum selaras dengan kesepakatan Paris.
Program Manager Ekonomi Hijau IESR Lisa Wijayani mengatakan pemulihan ekonomi yang menjadi fokus pada penyusunan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) dan Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 dapat dilakukan sejalan dengan komitmen ketahanan iklim.
“Untuk menjadi negara maju, Indonesia harus mampu memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat dan didukung oleh ketahanan iklim yang sangat kuat," kata Lisa Wijayani dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Pemerintah akan menyampaikan dokumen NDC dan dokumen LTS-LCCR 2050 dalam pertemuan COP26 di Glasgow, Skotlandia pada 31 Oktober sampai 12 November 2021.
Baca juga: Sekolah Lapang Iklim peran BMKG dukung ketahanan pangan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyampaikan kedua dokumen itu disusun berdasarkan kondisi realitas ekonomi yang terpuruk akibat pandemi COVID-19 yang membuat pemerintah lebih fokus pada upaya pemulihan ekonomi demi mencapai Visi Indonesia 2045 menjadi negara maju.
"Krisis iklim perlu mendapat perhatian serius karena dapat menimbulkan dampak negatif bagi pembangunan manusia, kemajuan perekonomian, dan pemerataan sosial,” ujar Lisa.
IESR mengungkapkan dokumen LTS-LCCR 2050 masih menempatkan batu bara sebagai sumber listrik.
Baca juga: Menteri LHK minta Program Kampung Iklim diperbanyak
Hal itu terlihat dari masih adanya porsi yang besar pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), serta mengandalkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS) untuk menurunkan emisi.
Teknologi itu dipandang masih mahal dengan capital expenditure lebih besar dari 4.200 dolar AS per kilowatt. Terdapat pula faktor teknis dan ekonomis, sehingga kelayakannya dipertanyakan dibandingkan opsi pembangkit energi terbarukan.
Selain itu, penggunaan teknologi CCS/CCUS pada PLTU justru akan membuat biaya investasi di PLTU meningkat 74 persen yang berpengaruh terhadap kenaikan biaya pembangunan pembangkit listrik.
Kajian IESR berjudul deep decarbonization of Indonesia’s energy system: a pathway to zero emissions menemukan bahwa Indonesia bisa mencapai nol emisi di sistem ketenagalistrikan pada tahun 2045 dan sistem energi pada tahun 2050 dengan pemanfaatan 100 persen energi terbarukan.
Baca juga: Kepala Bappenas: Kolaborasi regional penting dalam upaya konservasi
Baca juga: Ketua DPPPI tegaskan pentingnya sinergi ketahanan iklim dan pangan
Program Manager Ekonomi Hijau IESR Lisa Wijayani mengatakan pemulihan ekonomi yang menjadi fokus pada penyusunan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) dan Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 dapat dilakukan sejalan dengan komitmen ketahanan iklim.
“Untuk menjadi negara maju, Indonesia harus mampu memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat dan didukung oleh ketahanan iklim yang sangat kuat," kata Lisa Wijayani dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Pemerintah akan menyampaikan dokumen NDC dan dokumen LTS-LCCR 2050 dalam pertemuan COP26 di Glasgow, Skotlandia pada 31 Oktober sampai 12 November 2021.
Baca juga: Sekolah Lapang Iklim peran BMKG dukung ketahanan pangan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyampaikan kedua dokumen itu disusun berdasarkan kondisi realitas ekonomi yang terpuruk akibat pandemi COVID-19 yang membuat pemerintah lebih fokus pada upaya pemulihan ekonomi demi mencapai Visi Indonesia 2045 menjadi negara maju.
"Krisis iklim perlu mendapat perhatian serius karena dapat menimbulkan dampak negatif bagi pembangunan manusia, kemajuan perekonomian, dan pemerataan sosial,” ujar Lisa.
IESR mengungkapkan dokumen LTS-LCCR 2050 masih menempatkan batu bara sebagai sumber listrik.
Baca juga: Menteri LHK minta Program Kampung Iklim diperbanyak
Hal itu terlihat dari masih adanya porsi yang besar pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), serta mengandalkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS) untuk menurunkan emisi.
Teknologi itu dipandang masih mahal dengan capital expenditure lebih besar dari 4.200 dolar AS per kilowatt. Terdapat pula faktor teknis dan ekonomis, sehingga kelayakannya dipertanyakan dibandingkan opsi pembangkit energi terbarukan.
Selain itu, penggunaan teknologi CCS/CCUS pada PLTU justru akan membuat biaya investasi di PLTU meningkat 74 persen yang berpengaruh terhadap kenaikan biaya pembangunan pembangkit listrik.
Kajian IESR berjudul deep decarbonization of Indonesia’s energy system: a pathway to zero emissions menemukan bahwa Indonesia bisa mencapai nol emisi di sistem ketenagalistrikan pada tahun 2045 dan sistem energi pada tahun 2050 dengan pemanfaatan 100 persen energi terbarukan.
Baca juga: Kepala Bappenas: Kolaborasi regional penting dalam upaya konservasi
Baca juga: Ketua DPPPI tegaskan pentingnya sinergi ketahanan iklim dan pangan
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: