Pekanbaru (ANTARA News) - Seorang pakar gambut berpendapat, maraknya kampanye penyelamatan lingkungan yang dibalut misi perdagangan karbon sarat kepentingan asing yang dikenal dengan "eco colonialism".
"Perdagangan karbon yang terjadi saat ini merupakan bentuk penjajahan baru ekologi, atau yang disebut `eco kolonialism`," ujar pakar gambut, Prof Dr Jonotoro, dalam diskusi peringatan 30 tahun Walhi, di Taman Kota Pekanbaru, Minggu.
Dosen luar biasa Universitas Lancang Kuning, Riau itu menjelaskan, negara maju telah berhasil menekan Indonesia melakukan penyelamatan hutan terutama hutan rawa gambut yang masih tersisa dengan iming-iming dana bantuan.
Dengan imbalan 1 miliar dolar AS, maka pemerintah Indonesia melakukan penandatanganan "Letter of Intent" dengan Norwegia, di Oslo, pada 26 Mei 2010 dan sepakat melakukan moratorium (penghentian) penebangan hutan .
"Itu sama saja dengan orang menumpang kencing di tempat kita, dan karena kita miskin, maka kita menerima saja perlakuan itu. Tak masalah apakah itu kotoron bau atau tidak," katanya.
Karena itu, lanjutnya, pemerintah Indonesia harus bersikap hati-hati dalam menyikapi berbagai bantuan baik dalam bentuk pinjaman atau hibah dana asing dalam perdagangan karbon.
"Jadi pemerintah harus hati-hati menyikapi bantuan asing, apalagi ternyata 60 persen hasil perdagangan karbon diberikan ke perusahaan. Sedangkan pemerintah hanya mendapatkan 40 yang dibagi masing-masing 20 persen pusat dan daerah," katanya lagi.(*)
M046/M027
Awas "Eco Colonialism"
17 Oktober 2010 20:15 WIB
Hutan Lindung Gambut (Istimewa)
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010
Tags: