Jakarta (ANTARA) - Api akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mulai membara di beberapa wilayah rawan bencana tahunan itu di Indonesia, khususnya di pulau Sumatera.

Pada Rabu (21/7) misalnya, pesawat tempur F-16 dari Skadron Udara 16/Rydder Lanud Roesmin Pekanbaru menemukan titik api karhutla di Koto Tua, Kabupaten Kampar, Riau, saat tengah melakukan latihan rutin. Sementara pada Minggu (18/7) lalu, belasan hektare lahan juga terbakar di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan.

Selain dipantik oleh faktor kekeringan hutan dan lahan, karhutla tidak jarang disebabkan perilaku disengaja dari sejumlah pihak, salah satunya untuk membuka lahan yang tak hanya mengabaikan kelestarian alam, namun juga tak mengidahkan aturan hukum yang ada.

Penegakan hukum yang memadai lantas menjadi vital sebagai langkah penanganan pasca kebakaran untuk mengatasi bencana karhutla secara komprehensif.

Di samping contoh dari apa yang terjadi di Kabupaten Kampar, Riau, dan di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, ancang-ancang kesiapan penegakan hukum terhadap karhutla juga tampaknya harus segera dilakukan jika berkaca pada data terakhir yang dikeluarkan pemerintah.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Sabtu (24/7) melaporkan luas karhutla di seluruh Indonesia dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2021 meningkat 16,3 persen atau seluas 8.597 hektare dibandingkan periode yang sama pada tahun 2020.

Lalu jika mengacu data Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), total luas karhutla berjumlah 52.479 hektare sejak 1 Januari hingga 30 Juni 2021.

Hampir serupa dengan pada 2020, wilayah Sumatera, kecuali Lampung dan Bengkulu, dan seluruh Kalimantan, kecuali Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan dan Tenggara, Nusa Tenggara Timur dan Nusa tenggara Barat, serta wilayah Papua, khususnya di Merauke menjadi wilayah yang paling rawan karhutla pada 2021 ini.

Penegakan hukum karhutla sendiri berlandaskan peraturan pokok sektor kehutanan, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun l999 tentang Kehutanan, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Baca juga: BNPB laporkan luas karhutla periode Januari-Juni meningkat 16,3 persen

UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) klaster lingkungan hidup dan kehutanan beserta tiga peraturan turunannya kemudian dibuat oleh pemerintah kemudian dibuat untuk menyelaraskan seperangkat regulasi yang ada plus menyeimbangkan preferensi kebijakan pemerintah.

Tiga aturan turunan itu, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang dan Penyelenggaraan Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, serta PP Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.

Kendati demikian, sorotan tertuju pada regulasi anyar yakni UU Ciptaker beserta peraturan turunannya itu yang justru dinilai mengedepankan sanksi administratif dibandingkan sanksi hukum konkret yang tegas serta berpihak pada korporasi, termasuk dalam konteks karhutla yang disebabkan oleh faktor kesengajaan.

Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara Roni Saputra dalam sebuah diskusi virtual dengan tema “Tata Kelola dan Penegakan Hukum Sektor Kehutanan di Bawah UU Cipta Kerja” pada Rabu (14/7) mengatakan bahwa tindakan yang menimbulkan kerusakan pada lingkungan hidup tidak bisa berhenti di sanksi administrasi saja.

"Harus ada kewajiban bagi pelaku baik perorangan maupun korporasi untuk mengembalikan dan memulihkan lingkungan yang rusak. Itu yang seharusnya menjadi prinsip," ujar Roni.

Sementara itu, Direktur Penegakan Hukum Pidana KLHK Yazid Nurhuda dalam diskusi yang sama menjelaskan bahwa UU Ciptaker klaster lingkungan hidup dan kehutanan dan peraturan turunannya merupakan terobosan untuk dapat memberikan legalitas bagi kegiatan di dalam kawasan hutan yang dilakukan korporasi maupun masyarakat.

Penegakan hukum tidak lantas berhenti di sanksi administratif saja melainkan juga dapat dibawa ke level yang lebih tegas yakni berupa sanksi pidana dengan sejumlah kriteria tertentu yang telah diatur, kata Yazid.

Selain itu, Yazid juga menjelaskan bahwa UU Ciptaker pada dasarnya merupakan terobosan demi memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk meingkatkan taraf hidupnya dengan integrasi aturan bagi penciptaan lapangan pekerjaan dan kemudahan investasi.

“UU Ciptaker klaster lingkungan hidup dan kehutanan memuat hal baru yakni keberpihakan kepada masyarakat. Dalam konteks penegakan hukum yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan, diberikan kesempatan untuk memanfaatkan demi kehidupannya,” papar Yazid.

Selain mengenai diskursus landasan hukum tersebut, sesungguhnya terdapat tantangan lain dalam konteks implementasi penegakan hukum karhutla yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan aparat penegak hukum terkait yakni masalah ketimpangan.

Baca juga: Tim Satgas Karhutla Riau berjibaku padamkan api

Butuh perbaikan kolaborasi
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Bambang Hero Saharjo mengatakan penanganan karhutla dilakukan melalui tiga hal, yakni pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran.

Aspek penegakan hukum masuk dalam kategori penanganan pasca kebakaran yang pada intinya dilakukan untuk meminta pertanggungjawaban atas kebakaran yang terjadi, termasuk upaya pemulihan yang harus dilakukan.

Menurut dia, bila hal itu tidak ditegakkan maka perusakan lingkungan, tak terkecuali karhutla akan terus lestari. Akan tetapi, ketimpangan penegakan hukum masih terjadi dalam perjalanan penanganan karhutla sampai sejauh ini.

“Selama ini memang sudah berjalan, namun masih terjadi ketimpangan, artinya ada wilayah yang benar-benar sangat serius dalam penegakan hukumnya hingga terdapat putusan hukum yang jelas, tetapi ada juga yang hiruk pikuknya terjadi saat proses investigasi dan setelah itu tidak jelas lagi putusannya,” kata Bambang Hero.

Tidak hanya itu, sambung Bambang Hero, para pihak yang menangani perkara baik itu pidana, perdata, tata usaha negara (TUN) dan administrasi harus memehami bahwa penanganan perkara karhutla penuh dengan proses pembuktian ilmiah yang sulit dan rigid.

Oleh karena itu, peraih anugerah John Maddox Prize 2019 itu menyarankan agar para penyidik, Jaksa Penunut Umum, maupun hakim perlu diberikan pemahaman yang mendalam seperti apa kejadian karhutla itu, dampak apa yang terjadi setelahnya, serta seperti apa pemulihannya.

Menurutnya, hal itu bisa dilakukan melalui kegiatan pelatihan yang terintegrasi dengan melibatkan berbagai ahli. Setelahnya, pemantauan terhadap para penegak hukum itu juga terus dilakukan oleh semua pihak agar tetap dalam koridor ketika melakukan penegakan hukum.

Pada titik ini, kerja sama para pihak terkait kemudian terlihat begitu penting untuk memastikan penegakan hukum karhutla dapat berjalan dengan baik.

Mengenai hal itu, Yazid Nurhuda serta Bambang Hero sama-sama memiliki tanggapan positif atas nota kesepahaman dalam penegakan hukum karhutla yakni berupa surat keputusan bersama (SKB) yang telah ditandatangani oleh Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo pada 6 Mei 2021 lalu.

Bagaimanapun, yang patut digaris bawahi dari dinamika karhutla yang ada sampai sejauh yakni mengenai kolaborasi dan ketimpangan penegakan hukum harus segera diperbaiki untuk kemudian diimplementasikan secara tegas dan efektif.

Mitigasi karhutla secara menyeluruh yang tidak hanya pada aspek penegakan hukum, juga harus dilakukan dengan baik demi lestarinya alam, lingkungan, dan hutan bagi generasi penerus bangsa di kemudian hari.

Baca juga: Pemkab Sintang ingatkan desa wajib alokasikan ADD tanggulangi Karhutla