Jakarta (ANTARA) - Pusat Studi Asia Tenggara (Center for Southeast Asian Studies/CSEAS) Indonesia, menggelar webinar terkait potensi ancaman politik, ekonomi, dan keamanan terhadap negara-negara Asia seiring dengan meningkatnya hegemoni China.

Webinar internasional yang digelar pada Jumat (23/7) itu bertema "China’s Hegemoni: Potential Political, Economic and Security Threats to Asian Countries.

Dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu, para pembicara memberikan pandangan mereka tentang definisi hegemoni, kebijakan luar negeri China, kekuatan ekonomi dan militernya dan proyeksi China ke depan.

Profesor Emiritus Carlyle Thayer dari UNSW Canberra menyoroti strategi dan keinginan-keinginan China di bawah Presiden Xi Jinping dengan mempertahankan Partai Komunis China (CCP) tetap berkuasa, menjaga persatuan dan integritas wilayah, pengembangan ekonomi dan mengatasi ketimpangan pendapatan, membangun militer kelas pertama.

Baca juga: AS kecam El Salvador karena kucilkan Taiwan, tuding hegemoni China

Menurut dia, hegemoni China di Asia dengan menerapkan “one China policy”, perjanjian ekonomi komprehensif, ASEAN-China Free Trade Regional Comprehensive Partnership.

Untuk mengurangi ancaman hegemoni China, dia mengusulkan antara lain jalur diplomatik dan politik melalui mekanisme multilateral dan regional termasuk sentralitas ASEAN.

"Tingkatkan peran ASEAN Coast Guard dan ASEAN Plus Four atau Quad," katanya.

Karena persaingan antara China dan AS untuk hegemoni regional di Asia, negara-negara Asia tidak boleh bergabung hanya dengan satu kekuatan besar.

Mereka harus melibatkan keduanya dan menjaga keseimbangan, ujar Director of the New Zealand Contemporary China Research Center, Victoria University Dr Jason Young.

"Ancaman terhadap negara-negara Asia, dalam hal munculnya China sebagai kekuatan besar dan persaingan kekuatan besar untuk hegemoni di kawasan, adalah jika Asia menjadi Asia tanpa Amerika Serikat, itu akan menjadi luar biasa bermasalah. Karena tidak akan ada kekuatan besar untuk menyeimbangkan China,” kata Jason Young.

Baca juga: Persaingan AS dan China di tengah badai COVID-19

Sementara itu, Senior Research Fellow dari CSEAS Veeramalla Anjaiah memaparkan sejarah pembentukan Partai Komunis China (CCP) 100 tahun lalu (23 Juli 1921) dan para tokohnya termasuk Mao Zedong.

Ia mengatakan selama 72 tahun terakhir CCP telah mentransformasi China dari salah satu negara termiskin menjadi ekonomi terbesar kedua terbesar di dunia, kekuatan militer terbesar ketiga dan hegemoni global.

"Sebagai satu adidaya global yang sedang muncul China, yang berpenduduk terbesar di dunia dengan 1,44 miliar jiwa, menjadi penantang dominasi AS sebagai adidaya saat ini," kata dia.

Menurut Anjaiah, kekayaan dalam bidang ekonomi tidak mengubah perilaku CCP. Aksi protes mahasiswa di Lapangan Tiananmen tahun 1989 ditumpas secara brutal. Jutaan Muslim Uighur dijebloskan ke dalam kamp-kamp konsentrasi dan gerakan demokratik juga dilibas di Hong Kong.

“Dengan kekayaan dan kekuatan militer, China ingin mendominasi dunia dengan memperluas kekuatan dan pengaruhnya,” katanya.

Dia merujuk kepada Belt and Road Initiative (BRI) yang mencakup 68 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan dengan rencana investasi ditaksir sebesar 1 juta triliun.

Berdasarkan program BRI, lanjut dia, China dengan agresif menyediakan pinjaman dan menanam modal dalam berbagai proyek infrastruktur di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya di bawah program BRI.

Anjaiah mengatakan, Indonesia harus hati-hati untuk menghindari pengalaman-pengalaman Sri Lanka, Pakistan dan Kamboja.

Sementara itu, Executive Director Indonesia Institute of Maritime Studies Dr Connie Rahakundini menyebutkan dua faktor utama yang mendorong pertumbuhan ekonomi China yang cepat: investasi dana berskala besar dari investasi asing dan simpanan domestik, serta pertumbuhan produktivitas yang cepat.

Kedua faktor ini berjalan beriringan, kata dia.

Baca juga: Davos, dunia yang gelisah, dan AS yang pasif

“Dana yang dikucurkan dan kebijakan pemerintah termasuk menjadi pendorong pertumbuhan yang signifikan selama 30 tahun terakhir,” kata dia.

Melihat perkembangan China, AS dan global, lanjut Connie , Indonesia seharusnya membuat pernyataan jelas mengenai sikap yang diimpikannya terkait dengan prinsip Gerakan Non Blok dan visi maritim global tahun 2045.

Baca juga: Akademisi sebut COVID-19 jadi transisi hegemoni dari AS ke China
Baca juga: China tak berniat bangun hegemoni