Tujuan utama revisi Perda COVID-19 agar penanganan pandemi berhasil
22 Juli 2021 20:50 WIB
Sejumlah pesepeda dari Bike to Work Indonesia dan mitra koalisinya menunggu pencopotan rambu bertuliskan “kecuali road bike” di sekitar Jalan Layang Non Tol (JLNT) Casablanca, Jakarta, Minggu (13/6/2021). Dinas Perhubungan DKI Jakarta mencopot rambu tersebut seiring berakhirnya massa uji coba JLNT untuk road bike. Sebelumnya uji coba tersebut mendapat kritikan dari Bike to Work Indonesia dan mitra koalisinya karena dinilai melanggar aturan hukum/perda yang sudah ada. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww.
Jakarta (ANTARA) - Tujuan utama revisi Peraturan Daerah (perda) nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanganan COVID-19, agar penanganan pandemi berhasil, khususnya di Ibu Kota.
"Jadi, ini didorong dari yang saya tangkap adalah niatan bagaimana perda ini berdaya guna untuk menanggulangi dan memutus rantai pandemi COVID-19 dan berhasil guna untuk mengakhiri pandemi ini," ucap Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta, Pantas Nainggolan di Jakarta, Kamis.
Setidaknya, kata Pantas, ada tiga pasal yang diusulkan dalam revisi perda tersebut, yakni pasal 28A terkait penyidikan yang menyebutkan selain Polisi Republik Indonesia (Polri), Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan, kemudian melampirkan hasil penyidikannya kepada pihak kepolisian dan pengadilan negeri.
Selanjutnya diusulkan pasal 32A dan 32B terkait pengaturan jenjang sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan (prokes) selama masa pandemi COVID-19 mulai dari sanksi sosial, denda administratif Rp500 ribu sampai Rp50 juta rupiah hingga kurungan pidana maksimal tiga bulan.
Ketiga pasal tersebut, kata Pantas, akan diuji kembali karena ada beberapa hal yang harus berlaku seperti Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang sudah diatur undang-undang.
Baca juga: Tiga pasal usulan revisi Perda COVID-19 DKI jadi fokus utama
"Nah, kemudian perda ini yang mengatur materil ya. Nah formilnya bukan di perda, ada hukum acara yang nanti prosesnya akan berlangsung di pengadilan dengan keputusan dari hakim," katanya.
Kemudian, kata Pantas, Bapemperda juga membahas berdasarkan masukan-masukan dari kepolisian terutama dalam pemberlakuan sanksi tindak pidana ringan.
"Ternyata ada dua klasifikasi yaitu pemeriksaan cepat dan pemeriksaan singkat. Pemeriksaan cepat itu bisa diterapkan kepada yang ancaman pidananya tiga bulan kurungan, maksimal dan pemeriksaan singkat itu 6 bulan maksimal. Nah ini yang kita bicarakan," ucapnya.
Diketahui, Perda DKI Jakarta 2 Tahun 2020 tentang penanggulangan COVID-19 sebenarnya sudah memiliki ketentuan pidana berupa pidana denda.
Pada pasal 29 disebutkan, setiap orang yang menolak untuk dilakukan tes PCR atau pemeriksaan COVID-19 akan dipidana paling banyak Rp5 juta.
Baca juga: Pimpinan DPRD: Besar kemungkinan revisi Perda COVID-19 disepakati
Pasal 30 juga disebutkan orang yang menolak dilakukan pengobatan dan atau vaksinasi COVID-19 akan didenda Rp5 juta.
Pasal selanjutnya yaitu Pasal 31 ayat 1 menyebut orang yang membawa jenazah berstatus COVID-19 atau probabel akan didenda paling banyak Rp5 juta. Ayat 2 disebut orang yang melakukan pidana serupa ayat 1 dengan ancaman atau kekerasan akan didenda paling banyak Rp7,5 juta.
Pasal 32 atau pasal terakhir sanksi pidana menyebutkan setiap orang terkonfirmasi positif, namun meninggalkan fasilitas isolasi dengan sengaja akan dikenakan denda Rp5 juta.
Akan tetapi, sanksi yang ada dipandang oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak menimbulkan efek jera pada pelanggar protokol kesehatan di masa COVID-19 sehingga perlu dikenakan ancaman hukuman yang lebih besar.
Meski demikian, Anies menjelaskan bahwa pasal pidana yakni kurungan badan tiga bulan atau sanksi denda dalam revisi Perda Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan COVID-19 adalah ultimatum remidium atau upaya terakhir penegakan hukum setelah penerapan sanksi administrasi tidak menimbulkan efek jera.
Baca juga: Anies: Kewenangan penyidik Satpol PP sesuai dengan UU dan Permendagri
"Jadi, ini didorong dari yang saya tangkap adalah niatan bagaimana perda ini berdaya guna untuk menanggulangi dan memutus rantai pandemi COVID-19 dan berhasil guna untuk mengakhiri pandemi ini," ucap Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta, Pantas Nainggolan di Jakarta, Kamis.
Setidaknya, kata Pantas, ada tiga pasal yang diusulkan dalam revisi perda tersebut, yakni pasal 28A terkait penyidikan yang menyebutkan selain Polisi Republik Indonesia (Polri), Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan, kemudian melampirkan hasil penyidikannya kepada pihak kepolisian dan pengadilan negeri.
Selanjutnya diusulkan pasal 32A dan 32B terkait pengaturan jenjang sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan (prokes) selama masa pandemi COVID-19 mulai dari sanksi sosial, denda administratif Rp500 ribu sampai Rp50 juta rupiah hingga kurungan pidana maksimal tiga bulan.
Ketiga pasal tersebut, kata Pantas, akan diuji kembali karena ada beberapa hal yang harus berlaku seperti Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang sudah diatur undang-undang.
Baca juga: Tiga pasal usulan revisi Perda COVID-19 DKI jadi fokus utama
"Nah, kemudian perda ini yang mengatur materil ya. Nah formilnya bukan di perda, ada hukum acara yang nanti prosesnya akan berlangsung di pengadilan dengan keputusan dari hakim," katanya.
Kemudian, kata Pantas, Bapemperda juga membahas berdasarkan masukan-masukan dari kepolisian terutama dalam pemberlakuan sanksi tindak pidana ringan.
"Ternyata ada dua klasifikasi yaitu pemeriksaan cepat dan pemeriksaan singkat. Pemeriksaan cepat itu bisa diterapkan kepada yang ancaman pidananya tiga bulan kurungan, maksimal dan pemeriksaan singkat itu 6 bulan maksimal. Nah ini yang kita bicarakan," ucapnya.
Diketahui, Perda DKI Jakarta 2 Tahun 2020 tentang penanggulangan COVID-19 sebenarnya sudah memiliki ketentuan pidana berupa pidana denda.
Pada pasal 29 disebutkan, setiap orang yang menolak untuk dilakukan tes PCR atau pemeriksaan COVID-19 akan dipidana paling banyak Rp5 juta.
Baca juga: Pimpinan DPRD: Besar kemungkinan revisi Perda COVID-19 disepakati
Pasal 30 juga disebutkan orang yang menolak dilakukan pengobatan dan atau vaksinasi COVID-19 akan didenda Rp5 juta.
Pasal selanjutnya yaitu Pasal 31 ayat 1 menyebut orang yang membawa jenazah berstatus COVID-19 atau probabel akan didenda paling banyak Rp5 juta. Ayat 2 disebut orang yang melakukan pidana serupa ayat 1 dengan ancaman atau kekerasan akan didenda paling banyak Rp7,5 juta.
Pasal 32 atau pasal terakhir sanksi pidana menyebutkan setiap orang terkonfirmasi positif, namun meninggalkan fasilitas isolasi dengan sengaja akan dikenakan denda Rp5 juta.
Akan tetapi, sanksi yang ada dipandang oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak menimbulkan efek jera pada pelanggar protokol kesehatan di masa COVID-19 sehingga perlu dikenakan ancaman hukuman yang lebih besar.
Meski demikian, Anies menjelaskan bahwa pasal pidana yakni kurungan badan tiga bulan atau sanksi denda dalam revisi Perda Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan COVID-19 adalah ultimatum remidium atau upaya terakhir penegakan hukum setelah penerapan sanksi administrasi tidak menimbulkan efek jera.
Baca juga: Anies: Kewenangan penyidik Satpol PP sesuai dengan UU dan Permendagri
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2021
Tags: