Jakarta (ANTARA News) - Perlukah suatu paradigma baru dalam proses pembangunan di Indonesia, atau sudah mantapkah visi yang selama ini dianggap relevan oleh para elite dan polisi maupun praktisi negeri ini?

Prof. Aris Ananta, Peneliti senior Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, dalam makalah “A Search for a World Development Program: with Specific Recommendation for Indonsia" (3 September 2009), menggelitik kita semua untuk menggugat diri secara serius dan beretika dalam meningkatkan mutu manusia Indonesia.

Ia menyajikan suatu pandangan dalam arti suatu model inter-disipliner dengan tiga tujuan utama pembangunan: 1. pembangunan yang berpusat kepada manusia, 2. pembangunan yang bersahabat pada lingkungan hidup (environment friendly), 3. tata kelola pemerintrah/manajemen yang baik (good governance).

Pengembangan sumber daya manusia (SDM) dimaknai dari dua tingkatan. Pertama, pengembangan pada tingkat pribadi yang menyangkut pengembangan rasio, ketrampilan fungsional dan sistem nilai. Kedua, pengembangan yang terkait makro berkaitan dengan pemberdayaan sumber daya manusia (PSDM) pribadi layaknya pendidikan, gizi, dan kesehatan.

Proses itu menumbuhkan masyarakat berjiwa wirausaha (entrepreneur) sebagai yang memiliki jiwa kreatif/inovatif, tidak mudah bersikap "nrimo" atau terima apa adanya (non-conformist), pencari peluang untuk meningkatkan mutu, pengambil risiko yang bukan spekulatif.

Artinya, bertanggungjawab atas pelayanan pada masyarakat dan tidak terbatas di sektor bisnis saja. Mereka muncul dalam semua tingkatan masyarakat dan berasal dari segala lapisan dan yang jelas tidak langsung jadi.

Kewirausahaan adalah mengenai suatu aspirasi terhormat (noble aspiration) dan sebagai perilaku tidak mudah menjelma menjadi ketidaketisan dalam sikap, perilaku dan kompetensi.

Dalam diri setiap SDM baik dalam institusi pemerintahan maupun masyarakat menghadapi perubahan lingkungan global yang sangat turbulen dan cepat, tidaklah mungkin hanya dikejar dengan sikap perilaku dan kompetensi yang terlalu birokratis impersonal tersebut.

Demikian pula dalam setiap proses ekonomi, secara berkesinambungan perubahan mendasar dalam diri SDM dengan suatu paradigma baru yang bukan slogan politik, tetapi secara konseptual dalam arti aturan permainan baru, pembaruan dalam diri manusia yang mampu menciptakan sejumlah ekspektasi tentang apa yang mungkin dapat terjadi berdasarkan sejumlah asumsi yang saling terkait (inter related).

Dengan kata lain, kita memerlukan suatu visi baru tentang apa yang dicita-citakan mengenai dunia sekelilingnya dengan pertanggung jawaban sosial (social responsivenenss).

Dalam proses pembongkaran diri muncul gugatan untuk senantiasa menicptakan dalam diri keberanian untuk menggabungkan keterampilan baru secara sinergis dan sekaligus pola pikir baru yang mampu menggerakkan jaringan kerja (networking), mampu menyerap pengetahuan baru sebagai hasil penelitian dan pengembangan (research and development/R&D) sekalipun hasil orang lain, karena hal ini tidaklah melulu berasal dari dunia bisnis dan industri manufaktur dan jasa.

Misalnya, hasil kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, komunikasi dan informasi (telepon genggam, Internet, fax), transportasi dan travel mendekatkan manusia satu sama lainnya untuk meningkat dalam membangun jaringan kerja (networking) dan sekaligus berkreasi secara inovatif terutama dalam pelayanan tepat waktu, bermutu hingga menciptakan kepuasan yang dilayani.

Jelas dalam pelayanan itu nothing is free, tetapi tuntutannya adalah kepuasaan timbal balik dalam jangan membohongi diri dan jangan mengelabui masyarakat yang membutuhkan pelayanan yang bermutu (lebih baik, lebih cepat dan lebih efisien biayanya).

Kini saatnya untuk mengkaji ulang peranan pendidikan masyarakat baik formal maupun dalam kelompok kelompok sebagai sarana pemberdayaan (empowerment) yang sadar menyiapkan peserta didik dalam kehidupan masyarakat baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.

Pada hahekatnya pendidikan berfungsi untuk mengembangkan karakter dengan kemampuan, meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia baik individu maupun sosial, termasuk keberanian “berpikir di luar kotak-kotak terstruktur" (thinking outside the box).

Dengan kata lain, pendidikan berfungsi sebagai sarana pemberdayaan individu dan masyarakat guna menghadapi masa depan, bukan dengan segala "cekokan" dan gaya hafalan maupun pilihan berganda (multiple choice), serta bukan mengejar sertifikat atau ijazah.

Pemberdayaan hanya mempunyai arti (meaning) kalau proses pemberdayaan menjadi bagian dan fungsi dari kebudayaan, yaitu aktualisasi dan koaktualisasi eksisitensi manusia, dan bukan sebaliknya menjadi hal yang distruktif bagi proses aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia. Hal ini berarti bahwa proses pemberdayaan merupakan pendekatan holistik.

Di dalam masyarakat, baik di pusat pemerintahan maupun di daerah, makin dibutuhkan sejumlah individu yang berjiwa wirausaha yang menghargai hal hal baru, yang berani mengambil inisiatif dan mampu merealisasikan penemuan penemuan baru.

Kesadaran kritis dalam diri seseorang dapat dicapai dengan cara “melihat kedalam diri sendiri”, serta menggunakan apa yang didengar, dilihat dan dialami untuk memahami apa yang sedang terjadi dalam kehidupannya. Kesadaran kritis inilah yang menjadi salah satu misi dan tugas pemberdayaan diri.

Seseorang menganalisis diri masalah dan memperoleh pengetahuan baru. Analisis realitas harus senantiasa dilakukan oleh orang yang dapat memutuskan sendiri apa kebutuhan dan pengalaman yang penting baginya, dan bukan diputuskan oleh orang lain secara otoriter/represif.

Ke masa depan, kita semua memerlukan suatu masyarakat sipil yang aktif (an active civil society) di mana organisasi non-pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat justru memegang peranan vital dalam pembangunan manusia.

Berbagai organisasi dalam masyarakat memainkan peranan dalam memoblisasi opini publik dan kegiatan masyarakat dan membantu pembentukan skala prioritas dalam pembangunan manusia. Suatu strategi untuk pertumbuhan ekonomi yang memberi bobot pada manusia dan potensi produktivitas mereka merupakan jalan satu-satunya untuk membuka peluang.

Jangan sampai membiarkan pemberdayaan (empowerment) menjadi pengebirian budaya produktif (depowerment). Depowerment berarti kembalinya rezim yang represif, yang otoriter yang menjadikan SDM obyek untuk dibuat tidak berkompetensi dan yang senantiasa meragu, iri, curiga karena perbedaan pendapat dan visi diperlakukan sebagai tabu.

Inilah tantangan manusia yang merasa anggota elite dan kelas menengah sebagai motivator dan sekaligus memiliki tanggungjawab sosial dan etis. (*)

*) Bob Widyahartono, MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi dan studi pembangunan Asia Timur; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta.