ODHA menerima jatah obat hingga tiga bulan selama pandemi
22 Juli 2021 12:52 WIB
Obat Antiretroviral Fixed Dose Combination jenis Tenofovir, Lamivudin, Efavirens (ARV FDC TLE) untuk terapi pengobatan orang dengan HIV AIDS (ODHA). Tiongkok uji coba obat HIV untuk penyembuhan koronavirus baru. ANTARA/Anita Permata Dewi/aa.
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan menambah pemberian jumlah obat bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) untuk mencukupi persediaan konsumsi selama tiga bulan di masa pandemi COVID-19.
"Kami beri kemudahan pemberian obat antiretroviral (ARV) lebih dari sebulan, bahkan sampai dengan tiga bulan selama memenuhi kriteria," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi dalam acara Kompas Talk "Strategi Daerah Hadapi AIDS Selama Pandemi" yang dipantau secara virtual dari Jakarta, Kamis.
Nadia mengatakan kebijakan itu untuk meminimalisasi penularan COVID-19 melalui interaksi ODHA di tempat umum maupun fasilitas pelayanan kesehatan.
Menurut Nadia jumlah ODHA di Indonesia secara estimasi hingga 2020 berkisar 543.100 orang. Sebanyak 359.000 di antaranya berhasil ditemukan dalam kondisi hidup. "Namun baru 142 ribu yang mendapatkan ARV dari hasil pengetesan sebanyak 37 ribu," katanya.
Populasi tersebut terdiri atas populasi kunci, seperti wanita pekerja seks, lelaki yang berhubungan seks sesama jenis atau LSL serta waria.
Selain itu Kemenkes juga mendeteksi ODHA berdasarkan hasil pengetesan penyakit sipilis sebanyak 964 orang. Sebanyak 480 di antaranya menjalani pengobatan.
Jumlah tersebut juga termasuk kelompok ibu hamil sebanyak 1.595 orang dari total pengetesan sebanyak 520 ribu orang. "Ibu hamil yang mendapatkan pengobatan sebanyak 395 orang," katanya.
Nadia mengatakan ARV bukan hanya obat bagi ODHA, tapi juga upaya pencegahan penyakit bagi masyarakat yang rentan tertular. "Pada 2004, kami mulai obati pasien HIV di Indonesia. Awalnya obat HRV hanya ditujukan untuk orang yang terdiagnosa pada stadium lanjut dan penyakit penyerta diberikan pengobatan," katanya.
Kemudian di 2004, kata Nadia, pengobatan ditingkatkan sesuai ketersediaan obat kepada orang yang terinfeksi HIV dan sudah masuk hampir stadium AIDS. Pada 2011 penggunaan ARV ditingkatkan lagi kepada orang yang lebih berisiko untuk mencegah orang tersebut jatuh pada stadium AIDS.
"Di 2013 ada inisiatif agar penggunaan ARV lebih luas pada orang tertentu, seperti populasi kunci ibu hamil. Pada 2018 kami adopsi deteksi dini dan orang yang positif langsung diberi obat tanpa melihat kriteria populasi yang mana," katanya.
Target di 2020, kata Nadia, 90 persen ibu hamil diharapkan bisa mengetahui status HIV/AIDS mereka dan 100 persen bayi lahir bisa diawasi potensi penularan dari ibunya.
"Kami beri kemudahan pemberian obat antiretroviral (ARV) lebih dari sebulan, bahkan sampai dengan tiga bulan selama memenuhi kriteria," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi dalam acara Kompas Talk "Strategi Daerah Hadapi AIDS Selama Pandemi" yang dipantau secara virtual dari Jakarta, Kamis.
Nadia mengatakan kebijakan itu untuk meminimalisasi penularan COVID-19 melalui interaksi ODHA di tempat umum maupun fasilitas pelayanan kesehatan.
Menurut Nadia jumlah ODHA di Indonesia secara estimasi hingga 2020 berkisar 543.100 orang. Sebanyak 359.000 di antaranya berhasil ditemukan dalam kondisi hidup. "Namun baru 142 ribu yang mendapatkan ARV dari hasil pengetesan sebanyak 37 ribu," katanya.
Populasi tersebut terdiri atas populasi kunci, seperti wanita pekerja seks, lelaki yang berhubungan seks sesama jenis atau LSL serta waria.
Selain itu Kemenkes juga mendeteksi ODHA berdasarkan hasil pengetesan penyakit sipilis sebanyak 964 orang. Sebanyak 480 di antaranya menjalani pengobatan.
Jumlah tersebut juga termasuk kelompok ibu hamil sebanyak 1.595 orang dari total pengetesan sebanyak 520 ribu orang. "Ibu hamil yang mendapatkan pengobatan sebanyak 395 orang," katanya.
Nadia mengatakan ARV bukan hanya obat bagi ODHA, tapi juga upaya pencegahan penyakit bagi masyarakat yang rentan tertular. "Pada 2004, kami mulai obati pasien HIV di Indonesia. Awalnya obat HRV hanya ditujukan untuk orang yang terdiagnosa pada stadium lanjut dan penyakit penyerta diberikan pengobatan," katanya.
Kemudian di 2004, kata Nadia, pengobatan ditingkatkan sesuai ketersediaan obat kepada orang yang terinfeksi HIV dan sudah masuk hampir stadium AIDS. Pada 2011 penggunaan ARV ditingkatkan lagi kepada orang yang lebih berisiko untuk mencegah orang tersebut jatuh pada stadium AIDS.
"Di 2013 ada inisiatif agar penggunaan ARV lebih luas pada orang tertentu, seperti populasi kunci ibu hamil. Pada 2018 kami adopsi deteksi dini dan orang yang positif langsung diberi obat tanpa melihat kriteria populasi yang mana," katanya.
Target di 2020, kata Nadia, 90 persen ibu hamil diharapkan bisa mengetahui status HIV/AIDS mereka dan 100 persen bayi lahir bisa diawasi potensi penularan dari ibunya.
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021
Tags: